TEMPO.CO, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyebutkan Indonesia darurat pelanggaran HAM di dunia bisnis. Organisasi itu menyoroti isu tersebut melalui dialog Pra-Konferensi bertajuk ‘Kabar Terbaru HAM dari Sektor Bisnis di Indonesia’, rangkaian acara menyambut Konferensi SDGs dan Sidang Umum INFID pada 19-20 Juli mendatang.
INFID mencatat ada tiga sektor bisnis yang rentan pelanggaran HAM pada pekerjanya dan aspek lingkungan, yaitu akuakultur (budidaya perikanan), pertambangan, dan kehutanan. Ketiganya adalah tiga sektor vital yang menyangga perekonomian Indonesia.
Sektor itu rentan pelanggaran HAM bagi sosial, ekonomi dan lingkungan, jika dikelola tanpa standar-standar HAM dalam bisnis. “Pertambangan dan perhutanan juga masuk dalam tiga sektor prioritas dalam RANHAM 2021-2025,” tertulis dalam keterangan INFID pada Rabu, 13 Juli 2022.
Di sektor tambang misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara atau minerba per 6 September 2021 tembus Rp 42,36 triliun atau 108,33 persen dari target tahun 2021. Sayangnya, suburnya penghasilan itu sejalan dengan praktik pelanggaran HAM di dalamnya.
Sektor pertambangan dengan keragaman komoditi mineral terus menambah daftar riwayat negatif pada perlindungan HAM. Kasus Kendeng dan Wadas di Jawa Tengah adalah fenomena mutakhir bagaimana daftar riwayat negatif itu terus memanjang.
“Di beberapa tempat, kerentanan HAM datang dari bahaya lubang tambang, penggusuran lahan, pelanggaran hak ulayat, pengabaian komunitas lokal, hingga pengabaian dampak sosial ataupun lingkungan dari praktik ekstraksi.”
Contoh Kasus
Direktur Eksekutif Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Tongam Panggabea, menjelaskan di Sumatera Utara, konflik kehutanan adalah implikasi dari SK Menteri Kehutanan No. AK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatra Utara dan pemberian konsesi Hutan Tanaman Industri kepada PT Toba Pulp Lestari.
Menurut Tongan, alokasi perizinan hutan adalah 40,46 juta hektare untuk perusahaan, 1,74 juta hektare untuk masyarakat, dan 41,2 ribu hektare untuk kepentingan umum. “Hal ini menunjukan kesenjangan yang sangat tinggi dalam sektor kehutanan,” ujar dia.
Tongam juga melihat bahwa sejumlah pasal justru memberi ruang terjadinya ‘kriminalisasi berlebih’ pada orang-orang yang seharusnya dilindungi hukum. Dalam konteks ini masyarakat adat dan warga lokal adalah dua pihak yang mungkin paling terdampak.
Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTH) tahun 2019 mencatat sebagian besar konflik terjadi antara perusahaan dan masyarakat, lalu disusul konflik pemerintah dan masyarakat. Di sektor pertambangan, salah satu problem mendasar dari kerentanan HAM adalah adanya kesenjangan regulasi tata kelola pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Respons Kemerintah
Pemerintah menunjuk Kementerian Hukum dan HAM sebagai national focal point bisnis dan HAM sejak 2021. Kemenkumham sudah membentuk Gugus Tugas Nasional untuk Bisnis dan HAM di Indonesia yang salah satu tugasnya adalah menyusun Strategi Nasional Bisnis dan HAM (STRANAS BHAM) di Indonesia.
“Kita sedang menunggu kerangka kebijakan bisnis dan HAM di Indonesia, menunggu dapat restu dari Kementerian Sekretariat Negara lalu Perpres-nya disetujui oleh Presiden,” kata Hajerati, Direktur Kerja Sama HAM Kemenkumham.
Hajerati juga menjabarkan upaya lain yang dilakukan pemerintah. Di antaranya adalah membangun aplikasi PRISMA untuk membantu pelaku bisnis mengevaluasi kebijakan dalam perusahaannya apakah sudah menegakan prinsip HAM berdasarkan pedoman internasional, United Nations Guiding Principles (UNGPs) on Business & Human Rights.
“Aplikasi ini bersifat voluntary self assessment dan sudah dipakai oleh beberapa perusahaan BUMN,” ujar dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.