TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai pembentukan tiga Polda baru di Papua adalah konsekuensi pembentukan Daerah Otonomi Baru atau DOB yang tidak terhindarkan. Sebab, pemerintah pusat bertanggung jawab memberikan perlindungan, menjaga keamanan, dan tata tertib di daerah hasil pemekaran tersebut.
“Untuk mendukung pemerintah daerah baru yang dibentuk dan juga melayani dan melindungi masyarakat,” kata Sugeng kepada Tempo, Jumat malam, 1 Juli 2022.
Namun, IPW mengingatkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit soal keamanan usai pembentukan tiga Polda Baru. “Tidak justru menambah daftar pelanggaran baru polisi di daerah baru tersebut, seperti kekerasan aparat, tindakan sewenang-wenang, arogansi kekuasaan, praktik bisnis eksploitasi sumber daya alam ilegal polisi,” ujarnya.
Pembentukan tiga Polda baru di DOB, kata Sugeng, harus mampu menekan gangguan keamanan oleh KKB dan harus dijaga tidak terjadinya pelanggaran HAM baru.
“Calon Kapolda tiga DOB Papua tidak harus Orang Asli Papua atau OAP. Akan tetapi, Kapolda yang ditugaskan harus mencintai rakyat Papua. Sebab, OAP memiliki pandangan negatif pada aparat-aparat pemerintah termasuk TNI-Polri,” kata Sugeng.
Pandangan negatif yang dimaksud Sugeng, yaitu terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah berlangsung sejak lama dan belum terselesaikan di Papua.
“Karena itu, Kapolda yang ditempatkan harus memiliki kemampuan mengambil hati OAP, mampu melakukan pendekatan humanis pada rakyat, mengedepankan dialog dalam penyelesaian-penyelesaian masalah sosial keamanan, tidak menjadi backing pemodal saat berhadapan dengan warga, dan menjauhkan pendekatan keamanan bersenjata,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR resmi mengesahkan tiga Rencangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru Papua atau DOB Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah dalam rapat paripurna, Kamis, 30 Juni 2022.
Pengesahan ini diwarnai konflik yang sudah terjadi di masyarakat, terutama perebutan lokasi ibu kota Provinsi Papua Tengah.
“Baru saja ada ide untuk pemekaran otonomi baru, sudah ada konflik,” kata pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dalam konferensi pers, pada hari yang sama.
RUU DOB menetapkan Nabire menjadi ibu kota Papua Tengah. Akan tetapi, sebagian masyarakat dan kepala daerah setempat meminta agar Timika-lah yang menjadi ibu kota. Aksi protes masyarakat pun dikabarkan terjadi di lapangan.
MUTIA YUANTISYA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.