TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengklaim draf teranyar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP sudah rampung dan disetujui pemerintah. Pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu menyebut RKUHP tinggal dibawa ke rapat paripurna DPR RI untuk diketok alias disahkan.
"Pemerintah sudah oke. Jadi itu nanti paripurna tingkat II diketok, selesai. Kita targetkan masa sidang ini RKUHP rampung," kata Bambang di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu, 22 Juni 2022.
Menurut Bambang, 14 pasal kontroversial dalam RKUHP sudah dikaji ulang dengan mendengarkan pendapat para ahli hukum. "Sudah, sudah oke. Everything is okay, enggak usah khawatir. Kami tidak akan membuat kalian sengsara," ujarnya.
Ia mengklaim seluruh aspirasi masyarakat sudah tertampung dalam RKUHP itu. Bambang enggan menjawab lugas kapan draf teranyar yang diklaim sudah dilakukan pembaruan itu akan dibuka ke publik. Bambang Pacul hanya menyebut, jika ada yang tidak setuju dengan substansi RKUHP, maka dipersilakan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kalau ternyata ada yang dianggap ugal-ugalan, kita bisa di JR-kan, adinda. Masih ada pintu untuk menyelesaikan," tuturnya.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pemerintah dan DPR melanggar konstitusi bila buru-buru mengesahkan RKUHP.
Menurut Bivitri, RKUHP seharusnya dibahas ulang, bukannya langsung disahkan dalam waktu dekat ini. “Ini bukan praktik yang konstitusional,” kata Bivitri dalam diskusi daring, Jumat, 17 Juni 2022.
Dia menuturkan RKUHP adalah RUU carry over atau dioper ke periode berikutnya karena tidak tuntas dibahas oleh DPR periode 2014-2019. Sejauh ini, narasi dari pemerintah dan DPR malah sebaliknya, yakni karena RUU ini operan, maka bisa langsung disahkan. Menurut Bivitri, pandangan itu salah.
Karena RUU operan, kata dia, maka seharusnya DPR dan pemerintah melakukan kembali pembahasan tingkat 1 tentang substansi rancangan. Terlebih, kata dia, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy S. Hiariej pernah mengatakan bahwa terdapat perubahan di naskah RKUHP.
Karena adanya perubahan itu, menurut Bivitri, pemerintah dan DPR mesti membahas RKUHP dari awal, bukannya mengesahkan aturan kontroversial itu secara langsung. “Tidak boleh suatu RUU yang mengatur A, lalu diketok palu sebagai yang mengatur B,” kata dia.
Baca juga: Pasal - pasal Kontroversial dalam RKUHP
DEWI NURITA