TEMPO.CO, Yogyakarta - Wafatnya Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii turut membawa duka bagi rohaniwan Kristen dan Katolik. Sejumlah pemuka kedua agama itu turut menyambangi jenazah Buya Syafii saat disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Jumat, 27 Mei 2022.
Berdasarkan pantuan Tempo, diantara perwakilan rohaniwan kristen dan katolik yang hadir adalah Pastor Yohanes Dwi Harsanta, Kepala Paroki Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kemetiran Yogyakarta. Dia turut datang demi memberi penghormatan terakhir pada Buya.
"Bagi kami, beliau sosok pendamai, bukan sekedar asal damai, tapi damai yang bermartabat dan berkeadilan," kata Yohanes yang juga Wakil Uskup Urusan Kategorial itu.
"Kami menghormati beliau sebagai sosok yang mengutamakan kebenaran berdasarkan keadilan," kata Yohanes.
Yohanes menilai Buya Syafii sebagai sosok yang senantiasa menganggap perdamaian antar umat manusia sebagai hal mutlak, merupakan fase tertinggi dari seseorang yang telah matang spiritualitasnya.
"Dengan sosok yang konsisten memperjuangkan perdamaian seperti Buya itulah, semua umat beragama patut merasa kehilangan beliau," kata Yohanes.
Rohaniwan lain yang melayat Buya Syafii di Masjid Gedhe Kauman adalah pendeta Gomar Gultom selaku Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Gomar mengatakan duka atas wafatnya Buya Syafii tak hanya dirasakan oleh umat Islam dan Muhammadiyah, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
"Kami dan seluruh bagian bangsa Indonesia turut kehilangan sosok besar seperti Buya," kata Gomar.
Buya, kata Gomar, tak semata dipandang sebagai salah satu bapak bangsa.
"Kami meneladani beliau sebagai negarawan, tokoh republik, yang berkomitmen pada persoalan soalan kebangsaan," kata Gomar.
Gomar mengatakan, telah mengusulkan kepada pemerintah mengangkat Buya Syafii sebagai pahlawan bangsa.
"Beliau semasa hidup telah banyak membuat pencerahan dengan pandangan pandangan kebangsaannya," kata Gomar.
Syafii Maarif lahir di Nagari Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Dia bersentuhan dengan Muhammadiyah ketika sejak masih kecil. Dia pernah menimba ilmu di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat.
Keputusannya menimba ilmu di Yogyakarta semakin membuat Syafii dekat dengan Muhammadiyah. Dia menerikan sekolahnya Mualimin Yogyakarta dan kemudian meneruskan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (Sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjadi pelajar dan mahasiswa dia aktif di lembaga pers majalah Sinar, majalah pelajar Mualimin. Dia juga pernah menjadi jurnalis hingga menjadi redaktur di Suara Muhammadiyah. Syafii juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam kala itu.
Buya Syafii juga pernah menempuh pendidikan S2 di Ohio State University, Amerika Serikat dan S3 dari University of Chicago, Amerika Serikat.
Sepanjang hayatnya, bungsu dari 4 bersaudara ini pernah menjabat sebagai menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1998-2005), Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), dan pendiri Maarif Institute.
Buya Syafii wafat setelah mendapatkan serangan jantung ketiga pada Jumat pagi tadi, 27 Mei 2022. Dia meninggal di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Yogyakarta.
Jenazah Syafii Maarif dikebumikan di Pemakaman Muhammadiyah. Tepatnya di Dusun Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo. Jenazah Buya dibawa dari Masjid Kauman sekitar pukul 15.30 WIB. Dia sebenarnya memiliki hak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata karena menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Jokowi pada 2015. Akan tetapi Buya Syafii memilih untuk tak menggunakan haknya itu.
Baca: Presiden Jokowi Kagumi Kesederhanaan Buya Syafii Maarif