INFO NASIONAL - KSIxChange bersama ALMI Special Scientist Series melakukan pembahasan isu mengenai hubungan antara ilmu sosial humaniora dan pandemi COVID-19 terhadap kelompok-kelompok rentan.
Pembahasan tersebut dikemas dalam webinar KSIxChange ke-36 bertajuk “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi COVID-19”, yang disiarkan langsung di YouTube pada Selasa, 21 September 2021.
Diskusi ini berfokus pada pembahasan peran riset ilmu sosial dan humaniora dalam memahami variasi kerentanan serta identifikasi masalah. Harapannya, poin-poin penting dalam diskusi ini akan berlanjut dan kemudian bisa menjadi rekomendasi untuk para pemangku kepentingan agar kebijakan dapat lebih tepat sasaran.
KSIxChange bersama ALMI Special Scientist Series melakukan pembahasan isu mengenai hubungan antara ilmu sosial humaniora dan pandemi COVID-19 terhadap kelompok-kelompok rentan.
Berbicara mengenai riset sosial humaniora, kebijakan berbasis bukti kedepannya diproyeksikan mampu memutus rantai permasalahan yang dialami kelompok tertentu. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kelompok rentan di antaranya kelompok minoritas agama dan etnis, orang miskin, perempuan dan/atau pengasuh dengan beban ganda, penyandang disabilitas, penderita penyakit kronis, dan pekerja kreatif tanpa keamanan pekerjaan.
Menurut Dr. Sri Fatmawati selaku Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), ilmu sosial dan humaniora merupakan ilmu yang penting dipelajari, untuk memahami berbagai aspek dalam kehidupan manusia.
“Dengan memahami ilmu sosial dan humaniora, kita akan memahami fenomena sosial, kemudian memecahkan masalah, dan mengomunikasikan berbagai permasalahan kepada pemangku kebijakan dengan lebih efektif supaya dapat membuat kebijakan serta beradaptasi terhadap perubahan,” jelas Sri.
Seperti yang kita ketahui, pandemi telah berlangsung selama dua tahun. Selama masa tersebut, kelompok rentan menjadi kelompok yang mendapatkan pukulan berat. Beban yang dirasakan kelompok ini akan makin berat apabila akses primer seperti pengobatan, sumber pendapatan, vaksinasi, dan lain-lain susah didapat. Apalagi, jika kebijakan tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat kelompok yang tergolong rentan tersebut.
Selain itu, masyarakat yang semula tak tergolong sebagai kelompok rentan juga berisiko masuk dalam kelompok ini akibat beban ekonomi maupun kesehatan yang muncul akibat pandemi.
Pandemi memberikan dampak yang berbeda-beda, terutama bagi kelompok rentan. Maka dari itu, sebaiknya kebijakan lebih berfokus pada kelompok-kelompok yang rentan.
“Mereka (kelompok rentan) sering kali terlupakan dalam pelayanan maupun kebijakan. Di sinilah ilmu sosial hadir untuk memeriksa berbagai aspek yang mungkin dilakukan oleh pembuat kebijakan dan memberikan jawaban untuk mengurangi berbagai ketimpangan sosial,” lanjut Sri.
Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Dr. Teguh Hartanto juga menyampaikan pendapat senada. Menurutnya, penyusunan kebijakan terkadang hanya menggunakan perspektif ekonomi.
“Padahal, pendekatan sosial humaniora memiliki peran penting dalam memetakan kelompok rentan yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dengan lebih tepat sasaran, sekaligus membantu pemerintah mendesain kebijakan proteksi sosial yang sifatnya inklusif dan adaptif merespons perubahan,” kata Teguh.
KSIxChange bersama ALMI Special Scientist Series melakukan pembahasan isu mengenai hubungan antara ilmu sosial humaniora dan pandemi COVID-19 terhadap kelompok-kelompok rentan.
Riset sosial humaniora dapat melengkapi ilmu kedokteran yang biasanya lebih banyak terobsesi pada faktor-faktor sebab-akibat. Hal itu yang menjadi titik tekan dari peneliti kesehatan Universitas Hasanuddin, Dr. Sudirman Nasir. Ilmu sosial menurutnya dapat memetakan dampak Covid-19 secara menyeluruh serta melihat kelompok rentan sebagai agen yang sangat aktif dalam kondisi pandemi.
“Dari sana, pemahaman terhadap jenis kerentanan sosial dapat meningkat dan membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan afirmasi ataupun solusi tepat sasaran untuk dapat menjangkau kelompok rentan lebih dekat selama masa pandemi,” ujar Sudirman.
Diskusi kali ini juga menghadirkan pakar lainnya. Di antaranya peneliti pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Dr. Zulfa Sakhiyya; Peneliti Seni dan Budaya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dr. Aprina Murwanti; Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Dr. Maksum Syam; dan Peneliti Ilmu Sosial, Budaya, dan Agama, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. A. Najib Burhani.
Diskusi ini juga menenkankan peran integrasi dari riset sosial humaniora yang penting untuk proses penyusunan kebijakan. Demi mewujudkan hal tersebut, pendekatan multidisiplin dan inklusif dari proses integrasi pengetahuan ke kebijakan (knowledge-to-policy) juga diperlukan untuk membantu kelompok rentan dalam memiliki agensi dan memosisikan mereka sebagai sumber data kebijakan dan advokat aktif atas keadilan sosial.(*)