TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan sejumlah catatan kejanggalan terhadap proses Penyidikan Umum Pelanggaran HAM Berat kasus Paniai oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Proses yang dimulai sejak 3 Desember 2021 ini mendapat catatan pertama karena menggunakan istilah penyidikan umum. Istilah ini disebut tidak tercantum dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 ataupun hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
"Kata penyidikan umum tidak pernah ada dalam hukum acara manapun baik pengadilan HAM maupun pidana, adanya ya penyidikan," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Tioria Pretty Stephanie saat konferensi pers, Senin, 28 Maret 2022
Catatan kedua, Kejaksaan Agung disebutkan tidak pernah melibatkan pihak keluarga maupun para pendamping proses advokasi dalam menjalankan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Padahal, dalam sistem peradilan pidana, jaksa merupakan sosok pembela dan pendamping korban.
"Jaksa itu mewakili negara, mewakili korban untuk menuntut pertanggungjawaban suatu tindak pidana di hadapan proses hukum, pengadilan. Keluarga korban justru belum pernah diajak komunikasi, itu adalah kejanggalan," ujar Pretty.
KontraS juga mencatat penyidik Kejaksaan Agung telah memeriksa 61 orang yang terdiri dari warga sipil dan anggota TNI-Polri dalam kasus ini. Proses tersebut berlangsung setidaknya di tiga lokasi, yakni DKI Jakarta, Papua dan Sumatera Barat.
Catatan ketiga, disebutkan, Kejaksaan Agung juga belum menggunakan kewenangannya untuk mengangkat penyidik ad-hoc dari unsur masyarakat sebagaimana diakomodir dalam Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Tentunya masyarakat sipil yang dilibatkan ialah yang memang telah terbukti memiliki rekam jejak bekerja untuk HAM dan memiliki kepedulian terhadap korban.
"Langkah ini penting untuk membuat penyidikan partisipatif dan independen guna bisa mendapatkan dan menggunakan bukti sebaik-baiknya dalam proses peradilan yang tengah berlangsung," tegasnya.
Atas dasar catatan kejanggalan ini, KontraS bersama YLBHI, Amnesty International Indonesia, dan Keluarga Korban kasus Paniai Desember 2014 membuat tiga masukan, mengingat proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung masih berlangsung.
Pertama, mereka meminta Kejaksaan Agung untuk mengangkat penyidik HAM ad-hoc dari unsur masyarakat yang memiliki kapasitas dalam bidang HAM dan keberpihakan kepada korban untuk turut serta dalam penyidikan kasus Paniai.
Kedua, mendesak Kejaksaan Agung untuk menarik pertanggungjawaban beberapa petinggi Polri dan TNI di balik kasus Paniai dengan memperhatikan konsep rantai komando yang diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM.
Ketiga, Presiden Joko Widodo diminta menghentikan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua. Salah satunya dengan mengganti pendekatan keamanan dengan melakukan demiliterisasi menjadi pendekatan kesejahteraan yang bertumpu pada dialog dan penegakkan HAM.