TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam sikap sekolah yang melarang masuk kelas pada siswa yang belum mendapat vaksin Covid-19. Hal tersebut setelah viral video pelarangan tersebut di media sosial.
Di dalam video itu terdengar suara guru yang meminta seorang anak keluar kelas, tidak boleh mengikuti Try Out atau latihan mengerjakan soal dengan alasan belum vaksinasi covid, juga menekankan bahwa sekolah hanya mengikuti aturan yang dibuat Koordinator Wilayah.
"Namun atas kejadian yang viral itu, saya mengecam tindakan sekolah melalui tenaga pendidiknya dengan cara meminta anak keluar kelas dan tidak bisa mengikuti TO yang dilakukan di hadapkan umum, disaksikan oleh teman-temannya," ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin, 28 Maret 2022.
Menurutnya, kondisi tersebut pasti berdampak pada mental atau psikologis anak korban. Mungkin sekolah sebelumnya sudah menyampaikan ketentuan tertulis soal wajib vaksin kepada para orang tua peserta didik, tapi kata Retno, cara "mengusir" dan direkam, tidaklah tepat dan berpotensi membuat mental anak jatuh.
Padahal, Retno melanjutkan, anak tersebut sudah kelas akhir dan akan mengikuti ujian kelulusan sebentar lagi. Kejadian ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikis atau mental dan berpotensi kuat melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Saya mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Konawe untuk melakukan home visit ke anak korban," tutur dia. "Dan memberikan assesmen psikologi untuk mendapatkan hak pemulihan jika si anak mengalami masalah psikologi dari dampak kasus ini."
Selain itu, Retno berujar, vaksin seharusnya tidak menjadi halangan bagi seorang anak mendapatkan hak atas pendidikan. Seharusnya pihak manapun, baik guru, sekolah, Korwil, Dinas Pendidikan bahkan Kemendikbudristek tidak berhak melarang seorang anak mengikuti ujian dan mendapatkan pembelajaran lantaran belum vaksin.
Guru dan sekolah juga, disebutnya kerap menjadi kambing hitam dalam kasus seperti ini, padahal guru hanya menjalankan perintah atasannya yang menetapkan aturan yang keliru. "Saya mendorong Dinas pendidikan Konawe untuk segera mengevaluasi aturan tersebut dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak," kata Retno.
Vaksinasi Covid-19, kata diq, memang penting dalam melindungi anak-anak, dan itu merupakan hak anak mendapatkan hak sehat. Namun, ada anak-anak yang tidak bisa disuntik vaksin karena kondisi kesehatannya, dan ada anak-anak yang tidak bisa vaksin karena tidak mendapatkan ijin orangtuanya.
Negara juga tidak bisa memaksakan vaksin ke anak ketika tidak ada ijin dari orangtuanya, sementara anak belum bisa mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Program vaksinasi anak memang wajib didukung demi kepentingan terbaik bagi anak, tapi jika anak-anak belum divaksin karena beberapa sebab, maka hal itu tidak boleh menghalangi anak-anak mendapatkan hak atas pendidikan. "Sebagaimana dijamin dalam UUD 1945," ujarnya.
Sekolah dan Dinas Pendidikan juga dapat mengunakan ketentuan dari badan kesehatan dunia, WHO. Yang menyebutkan bahwa ketika 70 persen populasi sudah di vaksin maka kekebalan kelompok sudah terbentuk di lingkungan tersebut, termasuk lingkungan satuan pendidikan, karena pasti di setiap sekolah akan ada anak yang tidak bisa di vaksin karena alasan medis atau karena tidak mendapatkan ijin dari orangtuanya.
Sehingga tidak harus 100 persen anak harus divaksin. "Saya juga mendapatkan sejumlah pengaduan dari sejumlah daerah dimana orang tua mengeluhkan anaknya tidak bisa PTM karena belum di vaksin," tutur Retno.