TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pendidikan dan Guru memberikan sejumlah catatan terhadap pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tengah dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Catatan tersebut banyak mengungkap sisi negatif dari RUU yang disebut-sebut telah ditargetkan Kemendikbudristek masuk program legislasi nasional prioritas pada Mei 2022. Salah satunya RUU Sisdiknas ini dianggap sangat lemah dari aspek formal prosedural dan aspek isi atau materi.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan, secara prosedural pembahasan RUU tidak melalui uji publik yang dialogis, tidak partisipatif, dan minus transparansi. Padahal, kebijakan pendidikan dinilainya harus melingkupi semua yang berkepentingan dalam proses itu.
Sedangkan dalam aspek isi atau materi, P2G menilai banyak pasal yang tertukar antara konsep hak warga negara dengan kewajiban negara. Misalnya, di Pasal 12 ada ketentuan masyarakat wajib memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya.
"Padahal seharusnya masyarakat berhak. Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab, terkhusus dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan," ujar dia dikutip dari siaran pers, Ahad, 13 Maret 2022.
Lebih parahnya, dia melanjutkan, pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada pembiayaan dasar saja. Itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu, seperti tertuang dalam Pasal 80 ayat 1-3. Pasal ini dianggap membuka ruang diskriminasi pendidikan.
Terkait, Standar Nasional Pendidikan (SNP), dasar argumentasi perubahan 8 SNP yang berlaku sampai sekarang menjadi 3 SNP disebutnya perlu dipertanyakan. Ini karena landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas sangat lemah akibat hanya merujuk satu riset yang sangat terbatas oleh satu lembaga saja.
"Kajian Nasmik RUU Sisdiknas tidak merepresentasikan ragam konteks geografis dan demografis Indonesia, terkesan Jawa-Sumatera sentris, tidak relevan dan kontekstual, tentu tak layak dijadikan sumber referensi. Nasmik yang miskin literatur dan referensi tak patut dijadikan dasar," tegasnya.
Pada uraian Nasmik RUU Sisdiknas, menurut Iman, juga tidak satupun ditemukan Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Merdeka, padahal kurikulum tersebut sudah diimplementasikan sekarang, bahkan target Kemdikbudristek memberlakukannya di setiap sekolah secara nasional pada 2024.
“Selain itu, P2G tetap berharap agar mata pelajaran Sejarah masuk dalam ‘muatan wajib’ dan ‘mata pelajaran wajib’ dalam struktur kurikulum nasional, artinya Pasal 93 mesti direvisi. Masa Bahasa Asing masuk muatan wajib, pelajaran Sejarah tidak, hanya dijadikan pelajaran pilihan, ini kan aneh?" ucap Iman.
Yang juga cukup mengganjal P2G dalam RUU ini, dia mengatakan, dalam Pasal 105 ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa. Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru sekolah dan Kemdikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN).
“P2G khawatir evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian, bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut (Pasal 105 ayat 3-4)," katanya.
Iman menekankan, praktik bisnis pendidikan model ini merusak ekosistem sekolah karena menciptakan persaingan bisnis di luar konteks pembelajaran. Bukannya memperbaiki kualitas asesmen dalam kelas, Kemdikbudristek malah mengundang pihak luar untuk mengintervensi hasil belajar.
P2G turut meminta RUU Sisdiknas menambahkan Bab dan Pasal khusus membahas Disain Pendidikan di Masa Katastrofe. Belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun berlangsung, disebutkan Indonesia harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetap resilience dalam segala kondisi kedaruratan, bahkan bencana besar.
Selanjutnya, RUU Sisdiknas dianggap akan melahirkan Kastanisasi Sekolah. Sebab RUU ini memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan seperti dalam Pasal 18 dan 21 yang bernama Persekolahan Mandiri. Dengan entitas ini, dianggap akan ada sekolah yang diperlakukan istimewa oleh pemerintah, dengan membuka ruang inovasi apalagi dengan standar input berbeda.
Di sisi lain, RUU Sisdiknas juga disebut akan menghapus kualifikasi akademik minimal D4 atau S1. Penghapusan kualifikasi ini dianggap menyulitkan bidang pendidikan mendapat jaminan kualitas guru yang baik, padahal profesi seperti dokter hingga advokat dikatakannya harus minimal S1
Catatan selanjutnya, P2G menganggap RUU Sisdiknas tidak mengatur upah minimum guru seperti halnya manajemen upah buruh melalui skema UMP/UMK. Pada Pasal 124 juga hanya satu kalimat membahas jenjang karir guru, yaitu guru bisa jadi pemimpin dalam lembaga pendidikan sehingga jenjang karirnya dianggap tidak jelas.
Terkahir, P2G mencatat, RUU Sisdiknas hanya didisain untuk mengakomodir dan melegitimasi program kerja Kemdikbudristek era Nadiem Makarim belaka. Dicontohkan P2G, istilah Profil Pelajar Pancasila (PPP) yang sebenarnya hanya program kerja temporer yang dimuat dalam dokumen Renstra Kemdikbudristek Tahun 2020-2024 namun masuk dalam RUU itu.
“P2G menilai cara-cara semacam ini berpotensi menjadikan UU Sisdiknas lemah, tidak futuristik, jangka pendek, sangat parsial, tidak menyentuh persoalan mendasar, dan lebih kental politisnya ketimbang pendidikannya,” tegasnya.