TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengingatkan pemerintah agar upaya-upaya pelonggaran mobilitas masyarakat disertai dengan penguatan surveilans untuk mengurangi risiko penularan. Ia menyarankan pemerintah melakukan tes acak bagi pelaku perjalanan seiring dengan penghapusan syarat antigen/PCR bagi pelaku perjalanan dalam negeri yang sudah divaksin lengkap.
"Harus ada sampling yang biaya tesnya tentu ditanggung pemerintah. Jadi kalau misalnya diambil satu persen dari jumlah penumpang itu. Dari situ bisa dilihat, kalau yang positif misalnya hanya 1 persen dari jumlah sampling, berarti cukup aman," ujar Dicky saat dihubungi Tempo pada Selasa, 8 Maret 2022.
Menurut Dicky, idealnya pemerintah semestinya melakukan uji publik dulu untuk memastikan kebijakan ini aman diterapkan. "Setidaknya di satu lokasi selama satu minggu dilakukan uji publik, supaya kita memiliki dasar data yang kuat dalam mengambil kebijakan," ujar Dicky.
Dicky menyayangkan langkah pemerintah yang langsung memberlakukan penghapusan syarat perjalanan yang sebelumnya mewajibkan antigen mulai hari ini tanpa melakukan uji publik.
"Sekali lagi, tes itu ibarat mata kita terhadap virus. Tanpa tes yang memadai, kita tidak dapat melihat di mana virus atau ke mana arahnya," ujarnya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abraham Wirotomo menyebut, pemerintah saat ini berupaya melakukan testing menggunakan pendekatan surveilans, baik secara aktif melakukan penemuan kasus atau Active Case Finding (ACF) maupun testing epidemiologi.
"Sederhananya surveillance aktif itu, dari pemerintah yang aktif ngejar target dengan menyasar area-area tertentu. Seperti ACF di sekolah, secara acak tes akan dilakukan pada siswa dan guru untuk deteksi dini apakah ada kluster atau tidak. Lalu yang namanya testing kontak erat juga masih diteruskan," ujar Abraham.
DEWI NURITA
Baca: Indikator Epidemiologi Covid-19 Dinilai Tak Memadai untuk Pelonggaran Mobilitas