TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai indikator epidemiologi kondisi Covid-19 di Indonesia belum memadai untuk melakukan pelonggaran mobilitas masyarakat skala besar.
Saat ini pemerintah mulai melakukan pelonggaran dengan tidak mewajibkan antigen/PCR untuk perjalanan domestik bagi orang yang sudah divaksin dua kali. Pemerintah juga melakukan uji coba pelaku perjalanan luar negeri tanpa karantina di Bali.
"Indikator yang bisa dijadikan rujukan untuk pelonggaran secara nasional belum memadai," ujar Dicky saat dihubungi Tempo pada Selasa, 8 Maret 2022.
Ia merinci beberapa indikator yang mesti menjadi rujukan. Pertama, cakupan vaksinasi. "Cakupan yang memadai untuk respons Omicron plus dan seterusnya itu adalah 90 persen vaksinasi kedua dan setidaknya 50 persen vaksinasi dosis ketiga. Itu baru kategori relatif aman," ujar dia.
Data per 8 Maret pukul 12.00, vaksinasi dosis kedua masih di kisaran 71,35 persen dari target sasaran. Di beberapa daerah bahkan ada yang belum sampai 50 persen. Kemudian angka vaksinasi dosis ketiga masih 6,17 persen dari total target sasaran vaksinasi.
Indikator kedua, lanjut Dicky, angka reproduksi virus (Rt) harus di bawah 1 persen. Sementara data Kemenkes per 7 Maret, angka Rt di delapan pulau besar Indonesia rata-rata masih 1,09.
Indikator selanjutnya, lanjut dia, positivity rate di bawah 1 persen dan angka keterisian rumah sakit nasional di bawah 10 persen. Data hingga kemarin, positivity rate nasional masih di angka 9,93 persen. Bahkan di beberapa daerah masih di atas 10 persen. Di Jawa Barat, positivity rate berkisar 16,59 persen dalam sepekan terakhir. Sementara angka keterisian rumah sakit nasional masih di kisaran 28 persen.
Indikator terakhir yang juga penting, ujar Dicky,
angka kematian harus bawah 1 persen atau setidaknya kasus kematiannya di bawah 5/1.000.000 penduduk atau 5/100.000 penduduk di masa transisi.
Hingga 6 Maret 2022, kematian karena Covid-19 per 1 juta penduduk akibat virus corona Covid-19 di Indonesia sebanyak 539 orang. Dengan jumlah tersebut, Worldometer menempatkan angka kematian karena Covid-19 per 1 juta penduduk di Indonesia di urutan ke-19 di Asia. Urutan ini masih bertahan di posisi yang sama dalam sepekan terakhir. Terhadap statistik global, kematian karena Covid-19 per 1 juta penduduk di Asia adalah 14,21 persen dari total kasus di seluruh negara.
"Ditambah fakta kapasitas testing dan tracing kita yang belum memadai, saya kira jumlah kasus kesakitan atau kematian kita sebetulnya jauh lebih besar. Ini yang harus disadari, sehingga tidak membuat kita abai atau over confident," ujar Dicky.
Dicky setuju bahwa perlu ada pemulihan karena situasi mulai membaik, namun pemerintah harus sadar bahwa situasi kritis belum terlewati. Ia menyarankan pemerintah sebaiknya melakukan pelonggaran bertahap sembari melakukan penguatan surveilans.
"Misalnya bertahap di daerah yang sudah kuat sistem kesehatan masyarakatnya dulu, baru nanti meluas. Komunikasi risiko juga harus dijaga, jangan sampai ada yang berpikir pandemi sudah selesai lalu jadi abai. Nanti bisa bahaya, karena yang meninggal kan banyak," tuturnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, setiap kebijakan pemerintah sudah meminta masukan dari para pakar dan ahli di bidangnya. Selain itu, ia mengklaim semua peta jalan yang dibuat hingga hari ini juga tetap diberlakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tetap dilakukan secara bertahap, bertingkat dan berlanjut untuk memitigasi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Perlu kami tegaskan bahwa semua kebijakan dalam proses transisi yang akan kita lalui bersama-sama ini bukan dilakukan secara terburu-buru. Kita sudah harus siap untuk menuju proses transisi secara bertahap dengan menerapkan kebijakan berbasiskan data-data yang ada," ujar Luhut, kemarin.
DEWI NURITA
Baca: Perjalanan Domestik Tak Perlu Lagi Antigen dan PCR Asal Sudah Vaksin 2 Kali