TEMPO.CO, Jakarta - Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro merupakan Komando Kewilayahan Pertahanan yang meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Lalu bagaimana sejarah terbentuknya Kodam Diponegoro yang turut terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 ini?
Melansir dari kodam4.mil.id, terbentuknya Kodam IV/Diponegoro tidak dapat dipisahkan dari didirikannya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, untuk mempertahankan negara yang baru berdiri tersebut, maka dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, dibentuklah BKR. Selang beberapa bulan, pada 5 Oktober 1945, BKR ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Kemudian dibentuklah TKR di wilayah Jawa Tengah (Jateng). Organisasi pejuang kemerdekaan bersenjata inilah cikal bakal lahirnya Kodam IV/Diponegoro. TKR wilayah Jateng terdiri dari empat divisi, yaitu TKR Divisi IV di bawah pimpinan Kolonel GPH Djatikoesoemo, meliputi daerah Keresidenan Pekalongan, Semarang dan Pati bermarkas di kota Salatiga.
TKR Divisi V di bawah pimpinan Kolonel Sudirman, meliputi daerah Keresidenan Kedu dan Banyumas, bermarkas di Kota Purwokerto. TKR Divisi IX di bawah pimpinan Kolonel Soedarsono meliputi daerah Yogyakarta bermarkas di kota Yogyakarta. Serta, TKR Divisi X di bawah pimpinan Kolonel Soetarto meliputi daerah Surakarta bermarkas di kota Solo.
Seiring berjalannya waktu, TKR yang merupakan Tentara Keamanan Rakyat kemudian diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat berdasarkan penetapan Pemerintah Nomor : 2 / S.D / 1946 pada 7 Januari 1946. Nama TKR kemudian disempurnakan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan maklumat pemerintah pada 25 Januari 1946. Selanjutnya, TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947 TRI.
Dengan diresmikannya TNI, maka seluruh pasukan perjuangan dilebur menjadi satu dan masuk ke dalam TNI, termasuk 4 Divisi TKR di Jateng. TNI Jateng dan sekitarnya kemudian di susun kembali, yaitu Divisi II/Sunan Gunung Jati, dipimpin oleh Mayor Jenderal Gatot Subroto, meliputi wilayah Cirebon, Tegal atau Brebes dan Banyumas. Divisi III/Pangeran Diponegoro, dipimpin oleh Mayor Jenderal R. Susalit, meliputi wilayah Pekalongan, Kedu, Yogyakarta, Pemalang dan Kendal. Divisi IV/Panembahan Senopati, dipimpin oleh Mayor Jenderal Sutarto, meliputi wilayah Semarang, Surakarta dan Pacitan. Serta, Divisi V/Ronggolawe, dipimpin oleh Mayor Jenderal GPH Djatikoesoemo, meliputi wilayah Pati, Bojonegoro dan Madiun.
Kemudian pada 4 Mei 1948, berdasarkan Penetapan Presiden 1949 Nomor 14, dalam rangka meningkatkan kemampuan TNI pemerintah melakukan rekonstruksi dan rasionalisasi dengan sasaran penyusunan personil menjadi pasukan tempur dan pasukan teritorial. Dengan adanya aturan tersebut, kemudian Divisi II/Sunan Gunung Jati, Divisi III/Pangeran Diponegoro serta Divisi V/Ronggolawe dilebur menjadi satu divisi di bawah pimpinan Kolonel Bambang Sugeng. Sementara Divisi IV/Panembahan Senopati menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati.
Gatot Soebroto Panglima Kodam Diponegoro Pertama
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 23 tahun 1948, Divisi Jawa Tengah kemudian dibagi menjadi dua Daerah Militer Istimewa (DMI), yaitu DMI II di bawah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto dan DMI III di bawah Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng. Namun, pada 31 Oktober 1949, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor: 5/D/AP/49, kedua Divisi ini akhirnya digabung menjadi satu dengan nama Divisi III, dengan Kolonel Gatot Subroto sebagai Panglima.
Setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia, TNI memasuki masa konsolidasi di mana terjadi perubahan organisasi lantaran wilayah RI disusun menjadi 7 Tentara Teritorium (TT). Pada 20 Juli 1950, sebagai realisasi dari Penetapan Kasad Nomor: 83/KSAD/PNTP/1950, Daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu TT dengan nama Tentara Teritorium IV/Jawa Tengah, Kolonel Gatot Subroto diangkat sebagai Panglima yang berkedudukan di Semarang. Kemudian pada 5 Oktober 1950 diresmikan pemakaian satu-satunya badge Divisi Diponegoro untuk seluruh TNI di Jawa Tengah berdasarkan Keputusan Panglima TT IV/Jawa Tengah Nomor: 34/B-4/D-III/1950.
Tanggal 5 Oktober 1950 merupakan hari jadi Divisi Diponegoro. Namun, setelah melalui pertimbangan dan penelitian yang mendalam, akhirnya dengan Keputusan Nomor : KPTS-215/RUM/12/1967, pada 16 Desember 1967 ditetapkan tanggal 1 Maret sebagai hari Rumpun Diponegoro. Tujuannya untuk melestarikan karya juang prajurit Kodam VII/Diponegoro atas keberhasilannya pada peristiwa heroik dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap Ibu kota di Yogyakarta.
Pada 1 April 1985, Kodam Diponegoro diubah namanya menjadi Kodam VII/Diponegoro setelah adanya reorganisasi dalam tubuh Angkatan Darat, di mana wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi 10 Kodam, berdasarkan Surat Keputusan Kasad Nomor: Skep/131/II/1985 tanggal 12 Februari 1985.
Namun, seiring waktu dengan dilatarbelakangi kajian terhadap sejarah, pendekatan psikologis dan organisatoris, kemudian HUT Kodam Diponegoro yang semula 1 Maret dikembalikan lagi menjadi 5 Oktober melalui Surat Keputusan Kepala Staf Tentara Nasional Angkatan Darat No. 333 / VIII / 2013.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Prajurit Nonton Film Senyap, Kodam Diponegoro: Kami Obyektif
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.