INFO NASIONAL-Sumber air merupakan kebutuhan vital masyarakat sehingga pengelolaannya harus dilakukan pemerintah. Namun, sebagian kalangan menilai pemerintah lalai menjalankan amanat UU No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) lantaran tak kunjung menerbitkan PP terkait UU tersebut. Semua pihak dapat berpartisipasi mendorong diterbitkannya PP tersebut. Dalam pasal 78 UU SDA tahun 2019 mencantumkan, pemerintah menerbitkan PP terkait pengelolaan SDA paling lambat dua tahun sejak UU tersebut diundangkan, namun hingga saat ini PP tersebut tak kunjung terbit.
Yang terjadi UU SDA tersedot dalam UU Cipta Kerja dengan sejumlah perubahan signifikan. Berikut pandangan pengamat hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Syaiful Bakhri, S.H, M.H.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya air yang merupakan keperluan vital semua lapisan masyarakat, bagaimana Anda membaca semua keruwetan tersebut?
Kondisi tersebut menunjukan Putusan MK berkaitan UU SDA tahun 2013 tidak menjadi acuan dalam perbaikan berkenaan dengan UU SDA. UU SDA Tahun 2019 dan UU Cipta Kerja memiliki paradigmatik yang berbeda, ketika UU SDA 2019 mencoba menemukan titik keseimbangan antara perlindungan hak atas air dan optimalisasi peran negara dan UU Cipta Kerja mendorong pemenuhan target peningkatan investasi.
Dengan segala konsekuensinya, perlukah UU SDA 2019 direvisi agar dapat memenuhi unsur keadilan bagi masyarakat terkait penggunaan dan pengelolaan sumber air?
Saya beranggapan justru peraturan turunan UU SDA 2019 sebelum UU Cipta Kerja yang patut dinanti untuk ditinjau lebih jauh bagaimana orientasinya dengan UU SDA 2007 dan putusan MK mengenai UU SDA tahun 2013.
UU SDA 2019 pasal 78 mengamanatkan PP terkait UU SDA harus terbentuk maksimal Oktober 2021. Dari perspektif hukum, bagaimana konsekuensi hukum atas “kelalaian” pemerintah membuat PP terkait UU SDA 2019 tersebut?
Idealnya hal yang demikian itu dapat digugat perbuatan melawan hukum oleh penguasa di pengadilan tata usaha negara yang disebabkan kelalaian yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Menurut Anda, faktor apa yang menghalangi pemerintah tak bisa memenuhi tenggat penerbitan PP UU SDA pada Oktober 2021?
Politik hukum kebijakan SDA yang terdistraksi oleh UU Cipta Kerja memainkan peranan sehingga hal tersebut tidak terealisasi. Faktor ini determinan menjelaskan sehingga UU SDA 2019 berubah haluan paradigma dan mengakibatkan pelaksanaan UU SDA terhambat.
Bagaimana peluang masyarakat dan LSM mendesak lahirnya PP terkait UU SDA 2019, mengingat air merupakan kebutuhan orang banyak?
Semua pihak dapat berpartisipasi mendorong terbitnya PP UU SDA 2019. Namun patut diketahui pasca Putusan MK No 91 tentang UU Cipta Kerja, apakah penerbitan PP UU SDA yang sudah diubah oleh UU Cipta kerja termasuk perbuatan yang sudah dinyatakan MK dalam amar putusannya sebagai hal yang dilarang? Hal ini bisa menimbulkan persoalan baru apabila PP baru terbit dalam kondisi amar putusan MK.
Peningkatan ekosistem, investasi dan kegiatan berusaha merupakan amanah dalam UU SDA 2019. Namun di sisi lain UU tersebut menghapus kewenangan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk mengatur dan mengelola sumber daya air. Bagaimana anda menanggapi hal ini?
Politik hukum ini ditemukan dalam UU Cipta Kerja pula. Pendapat saya, penghapusan kewenangan itu tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah, meski ketentuan itu mengurangi otonomi daerah dalam pemenuhan hak atas air. Saya memandang hal tersebut tidak menjadi persoalan juga menabrak UUD 1945.
Peraturan Menteri PU menyatakan, adanya kewajiban pengelola SDA swasta membagikan minimal 15 persen dari jumlah debit air ke masyarakat sekitar via penyediaan hidran atau keran air. Namun PP tersebut tidak kunjung diterapkan swasta. Secara hukum bagaimana sanksi atas pelanggaran PP tersebut?
Penerapan sanksi administratif untuk hal yang demikian harus diterapkan.
Mengapa pemerintah tampaknya “enggan” mengambil langkah yang tegas terkait komersialisasi air?
Karena sektor ini menjanjikan ditambah pengelolaannya low cost, low risk dan low tech disamping kebutuhan primer sehingga sektor air kerapkali menjadi sektor yang menjanjikan untuk di komodifikasi.
Penjelasan Umum UU SDA menyatakan, Sumber Daya Air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau. Namun prakteknya, pihak swasta terkesan menguasai SDA. Bagaimana anda mencermati hal ini?
Secara norma tidak ada yang keliru terhadap hal tersebut. Namun bila praktik swasta menguasai SDA maka terletak kepada bentuk SDA di bagian yang seperti apa, terhadap penyediaan air kebutuhan dasar. Untuk itu, negara perlu memiliki posisi dominan, namun sumber daya air minum dalam kemasan mungkin dapat diserahkan kedalam skema berusaha.
Meski MK telah menetapkan rambu-rambu untuk mencegah terjadinya komersialisasi/privatisasi air, namun faktanya komersialisasi/privatisasi air masih terjadi dan marak. Masyarakat di semua daerah juga kian banyak yang bergantung pada air kemasan untuk konsumsi air minum sehari-hari. Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini?
Penyediaan air minum dalam bentuk yang paling mendasar harus merujuk kepada Putusan MK, sedangkan untuk air minum kemasan dalam bentuk yang bukan primer maka negara dapat berperan sekurang-kuranganya sebagai regulator dan pengawas.
Ada usulan agar pemerintah segera menerbitkan dua PP. Satu, PP terkait alokasi pengelolaan sumber air untuk kepentingan sosial masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dua, PP terkait hak guna untuk sektor bisnis. Bagaimana pandangan Andat?
Selama diperintahkan sesuai UU maka hal tersebut tepat untuk dilaksanakan, khusus untuk PP terkait sektor bisnis maka perlu ditekankan tentang pengawasan terhadap hak guna dan rumusan sanksi administratifnya.(*)