TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim meluncurkan program revitalisasi bahasa daerah, hari ini, Selasa, 22 Februari 2022. Program ini merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar Episode ke-17.
Program ini dia luncurkan sebagai upaya untuk melestarikan bahasa daerah di tengah-tengah anak muda Indonesia dan masyarakat secara umum. Sebab, dia tidak ingin Indonesia tertular kepunahan bahasa daerah yang telah terjadi di berbagai belahan dunia.
Mengutip data The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), Nadiem mengatakan, dalam rentang 30 tahun terakhir ini sudah sebanyak 200 bahasa daerah di berbagai belahan dunia yang punah.
"Saat ini, dalam waktu 30 tahun terakhir, sektiar 200 bahasa daerah di dunia sudah punah, bayangkan," kata dia saat meluncurkan program tersebut hari ini secara daring.
Sementara itu, Indonesia sendiri tercatat masih memiliki sekitar 718 bahasa daerah yang tersebar di berbagai pulau Tanah Air. Meski begitu, dia menekankan, banyak sekali bahasa daerah tersebut yang juga terancam punah dari kehidupan sosial masyarakat.
"Ini sungguh satu hal yang luar biasa sangat unik, Indonesia jadi panggung dunia. Tapi sayang sekali banyak sekali bahasa daerah yang terancam punah," paparnya.
Penyebab utama terancam punahnya bahasa-bahasa daerah tersebut, menurut Nadiem, akibat para penutur jatinya tidak lagi menggunakan bahasa tersebut. Bahkan, lebih parahnya, para orang tuanya tidak mewariskan bahasanya kepada generasi berikutnya.
"Tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya kepada generasi berikutnya. Kalau tidak digunakan ya secara otomatis akan hilang di generasi berikutnya," ucap Nadiem.
Untuk itu, dia menekankan, program revitalisasi bahasa daerah ini bentuk upaya pemerintah menyadarkan masyarakat luas dan meyakinkan mereka bahwa bahasa itu bukan hanya sekumpulan kata, melainkan sebagai identitas dan kekayaan bangsa.
"Kalau bahasa-bahasa daerah kita punah itu berarti kita kehilangan identitas, kehilangan kebhinekaan itu. Bukan hanya sejarah, kita hilang semua jenis kearifan lokal yang ada," papar dia.
Baca: Daya Hidup Mayoritas Bahasa Asli di Asia Kian Mengkhawatirkan