TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan ilmuwan muslimah yang tergabung dalam Majelis Alimat Indonesia (MAI) mendorong segera disahkannya Rancangan Undang-undang Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh DPR.
Saat ini, Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) dan Surat Presiden (Supres) dari pemerintah terkait RUU tersebut diketahui telah dikirimkan ke DPR. Oleh sebab itu, RUU ini tinggal masuk ke dalam tahap pembahasan untuk kemudian disahkan dalam rapat paripurna.
Ketua MAI Amany Lubis mendesak supaya regulasi tersebut nantimya harus memprioritaskan pencegahan, pelindungan dan penanganan terhadap korban dan penegakan hukumnya dapat membuat efek jera bagi pelakunya.
Sebab, menurutnya, kekerasan seksual bertentangan dengan Pancasila dan HAM. Di sisi lain, kekerasan seksual juga terus meningkat karena terjadi di tempat paling aman, seperti keluarga, tempat pendidikan, hingga tempat kerja.
Dia menekankan kekerasan seksual harus dicegah melalui Undang-undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah serta regulasi spesifik lainnya, termasuk keputusan Dirjen Pendis dan Permendikbud 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"MAI mengambil bagian dengan melakukan edukasi, pendampingan kepada korban, melakukan penelitian sebagai masukan kepada pemerintah," ungkapnya dikutip dari siaran pers, Ahad, 20 Februari 2022.
MAI berpandangan pencegahan dan penanganan seksual tdak hanya bisa dilakukan oleh negara, tapi membutuhkan pelibatan masyarakat dan Perguruan Tinggi. Selain itu, juga ditekankan mengacu ajaran dan nilai syariat Islam, sehingga beriiring dengan nilai moral Pancasila dan UUD 45.
"MAI menegaskan, negara perlu memiliki aturan yang jelas tentang kejahatan seksual yang bertentangan dengan Pancasila," ujar Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023 itu.
Menurut Amany, penghapusan kekerasan seksual harus didorong dengan regulasi yang tepat. Memang RUU TPKS diakuinya masih perlu disempurnakan, sebab masih banyak celah yang harus diperjelas dan diselaraskan dengan UU yang sudah ada seperti KUHP, UU Anti Pornografi, UU Perlindungan Anak, dan UU lainnya.
Akan tetapi jika RUU TPKS ini disahkan, Amany menganggap, masyarakat memiliki mekanisme yang lebih jelas untuk penanganan korban kekerasan seksual dan tindakan hukum bagi pelakunya serta membuat masyarakat berani bersuara.
“Sekarang ini masih banyak masalah yang didiamkan, misalnya ketika ada tindak kekerasan seksual di unit pendidikan mereka diam dengan alasan segan pada guru karena relasi kuasa atau untuk menjaga nama baik institusi. Ini tidak boleh lagi terjadi. Semua harus bergerak dan bersuara karena korban dilindungi payung hukum yang jelas,” kata Amany.