TEMPO.CO, Jakarta - Institute fo Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti hukuman restitusi atau pembayaran ganti rugi dalam vonis Herry Wirawan, terpidana kasus pemerkosaan 13 santriwati. ICJR menyebut saat ini belum ada kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sehingga besar kemungkinan tidak akan dibayarkan.
"Sangat mudah bagi pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia," kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis, Selasa, 15 Februari 2022.
Sebab, kata dia, saat ini memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban. "Terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban," ujarnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis Herry dengan hukuman penjara seumur hidup. Majelis hakim berpendapat tidak ada unsur yang dapat meringankan hukuman Herry Wirawan.
"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Yohannes Purnomo Suryo di PN Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, 15 Februari 2022.
Dalam putusannya, majelis hakim juga menjatuhkan restitusi yang pembayarannya dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atas kerugian yang diderita oleh korban. Namun dalam perkara restitusi, Maidin menyebut ada ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Dalam pertimbangannya, kata Maidina, majelis hakim telah menangkap hal ini sebagai suatu masalah. Namun kemudian majelis Hakim melakukan improvisasi dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian.
ICJR sepakat dengan niat baik majelis hakim dengan membebankan ganti rugi untuk dibayarkan oleh negara. Namun tetap saja, hukuman dalam putusan ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, yaitu pihak ketiga negara.
Untuk itulah, ICJR memberikan tiga masukan pascaputusan ini. Pertama, DPR dan pemerintah mengevaluasi dan memperbarui pengaturan tentang hak korban. Hal itu dilakukan mulai dari layanan korban hingga kejelasan restitusi dan eksekusi hak korban dalam KUHAP.
Kedua, mendorong kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk memperhatikan aspek pemulihan korban dalam penanganan kasus pemerkosaan. Dalam putusan, kata Maidina, Mahkamah Agung wajib memberikan jaminan putusan pengadilan yang mempertimbangkan pemulihan Korban.
Ketiga, pemerintah dan DPR mengkaji segera skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund untuk masuk dalam KUHAP, maupun Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. "Serta undang-undang lain yang sedang dibahas seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata dia soal vonis terhadap Herry Wirawan.