TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menekankan bahwa anggota kepolisian dilarang membawa senjata api dan peluru tajam saat mengamankan aksi unjuk rasa. Hal tersebut menyikapi dugaan penembakan yang terjadi saat demo di Parigi Moutong Sabtu 12 Februari 2022.
Menurutnya, ketentuan ini telah diatur dalam prosedur operasional standar (SOP). Sehingga, di mana pun kejadian unjuk rasa tercipta, maka setiap anggota polisi tidak boleh membawa senjata api dan peluru tajam.
Dedi menekankan, aturan ini juga harus dijalankan saat pengamanan aksi unjuk rasa di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Namun, tetap saja ada satu pengunjuk rasa yang tewas dengan luka tembak dari belakang.
"Sesuai SOP berlaku sama pada saat kita melaksanakan pengamanan di 2018, 2019, tidak boleh satu anggota polisi pun membawa senjata api dan peluru tajam saat penanganan unjuk rasa," kata dia di Mabes Polri, Jakarta, Senin, 14 Februari 2022.
Meski begitu, dia mengakui, polisi memang memiliki pleton anti-anarkis di tingkat polres dan polda untuk menangani unjuk rasa. Namun, pleton itu dikatakannya hanya bisa digerakkan oleh Kapolda dengan sejumlah tahapan.
"Yang bisa menggerakan peleton anti-anarkis hanya Kapolda itupun tahapan-tahapannya sudah jelas. Bila masuk tahapan zona hijau masih zona damai, kuning sudah meningkat eskalasinya. Kalau sudah zona merah, kalau sudah ada korban jiwa dari masyarakat, aparat, dan pembakaran fasilitas umum, properti dan terus meningkat baru peleton anarkis diturunkan," ujar Dedi.
Untuk level demonstrasi di Parigi Moutong, Dedi tidak menyebutkan secara jelas level apa yang sudah mencakup. Tapi, dia menekankan, level tersebut hanya diketahui oleh Kapolda, karena dia yang menguasai lapangan.
"Tapi karena sudah ada tindakan perlawanan, pelemparan, apa yang dilakukan Polda Sulawesi Tengah kan negosiasi sudah tidak bisa, kejadian sudah dari jam 11 sampai setengah 1, maka pembubaran dilakukan secara paksa dengan menggunakan tembakan gas air mata, water canon, dan didorong satuan dalmas (pengendalian massa), maupun PH (Police Hazard) dari Sabhara maupun Brimob," ungkapnya.
Apalagi, Dedi menekankan, kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum harus dijalankan dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998. UU itu katanya menegaskan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tidak bersifat absolut namun limitatif.
Menurutnya, dalam UU itu ada pasal-pasal yang harus ditaati semua warga negara ketika unjuk rasa. Pertama, disebutkannya, semua warga negara wajib mentaati dan memperhatikan hak-hak orang lain.
Kedua, wajib menaati norma-norma yang berlaku di masyarakat, ketiga wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, keempat wajib menjaga keamanan dan ketertiban umum, dan kelima menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
"Ketika lima peraturan tersebut dilanggar maka upaya kepolisian baru melakukan tindakan tegas dan terukur," turur Dedi.
Baca: Polisi Yakin Korban Tertembak di Parigi Bukan karena Anggotanya, Ini Sebabnya