TEMPO.CO, Jakarta - Sulaiman, salah seorang warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, menceritakan bagaimana kondisi desanya saat ini. Menurutnya warga saat ini masih takut keluar rumah dan menutup pintunya karena masih banyak aparat kepolisian yang berjaga.
“Aku termasuk orang yang ditangkap, tapi menurut informasi, semalam ada rombongan pakai motor dan toa, lalu koar-koar keliling desa meminta untuk mengumpulkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan ikut tanda tangan di salah satu rumah warga yang pro,” ujar dia dalam konferensi pers virtual, Kamis, 10 Februari 2022.
Mendengar pengumuman itu, Sulaiman melanjutkan, warga takut dan tidak bisa tidur karena merasa terancam. Bahkan, kata dia, polisi masih tetap berada di Desa Wadas sampai mendirikan tenda, dan ada pula yang tidur di teras rumah warga dan masjid.
Sulaiman merupakan salah satu dari 67 orang yang ditangkap. Selain Sulaiman ada 59 warga lainnya yang ditangkap (13 di antaranya anak-anak), 5 solidaritas, 1 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta (Dhanil Al-Ghifari), dan 1 orang seniman (Yayak Yatmaka).
Dan hari ini, Kamis, Sulaiman berujar, 10 truk polisi datang kembali, yang kabarnya mereka sudah dibekali dengan senjata lengkap, termasuk satu truk yang ditumpangi anjing pelacak. “Kabarnya, itu mau dilepas di hutan untuk mencari warga yang ngumpet, karena kondisi sangat menakutkan, warga mencari tempat aman, ada yang lari ke hutan,” katanya lagi.
Selain 10 truk polisi, Sulaiman juga menjelaskan bahwa ada mobil pribadi mewah sekitar 20 unit masuk ke Desa Wadas, serta rombongan motor yang diduga para preman. Selain itu, tidak ada aktivitas apapun dari warga desa tersebut.
“Hari ini memang tidak ada penangkapan, tapi warga masih takut, desanya seperti desa mati. Logistik itu belum bisa dikondisikan karena kondisi sangat semrawut,” tutur Sulaiman.
Sementara warga Wadas lainnya juga senada dengan Sulaiman, bahwa polisi masih sama seperti hari sebelumnya. “Masih sama seperti kemarin, masih banyak. Bahkan lebih banyak lagi,” katanya yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut.
Selain itu, warga yang tidak ingin disebutkan namanya itu mengatakan bahwa ada warga desa tetangga yang dipaksa ke hutan untuk ikut melakukan pengkuruan lahan. Warga tersebut disebutnya didatangi oleh lebih dari 10 aparat kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengukur tanah terkait penambangan batu andesit.
“Anak sekolah tidak berani karena masih ketakutan dan traumanya belum bisa dipulihkan. Lebih parah lagi, sampah bekas makanan yang polisi makan berserakan di depan sekitaran rumah,” ujar dia.
Warga lainnya lagi, menyebutkan bahwa dirinya mengaku lari dari kejaran aparat kepolisian ke hutan. “Sampai sekarang masih ada di alas (hutan), kami belum berani turun. Ada juga yang sebagian keluar dari Wadas karena takut sama aparat yang bawa anjing dan preman-preman,” kata warga yang juga tidak ingin disebutkan namanya.