TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membeberkan tuntutan terhadap pemerintah dalam penanganan kasus Talangsari Lampung. Peristiwa yang terjadi 33 tahun lalu itu telah menewaskan 130 orang, terbakarnya 109 rumah, hingga berbagai bentuk kekerasan lainnya dari aparat terhadap warga.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty, mengatakan bahwa pihaknya bersama Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) meminta pemerintah mendengarkan aspirasi para korban. “Serta masukan yang kami sampaikan,” ujar dia dalam konferensi pers virtual, Rabu, 9 Februari 2022.
Menurut Tioria, para keluarga korban meminta agar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan berhenti melempar tanggung jawab kepada legislatif dan Jaksa Agung segera lanjutkan proses hukum Talangsari 1989. Ia juga mendesak agar korban dilibatkan dalam setiap prosesnya.
“Bahkan sejak awal penyusunan kebijakan pengungkapan kebenaran dan pemulihan,” katanya lagi.
Seperti diketahui KontraS bersama PK2TL telah melakukan pertemuan dengan Kemenkumham dan Kemenko Polhukam pada Senin, 7 Februari 2022. Dalam pertemuan tersebut tercetus bahwa sudah ada proses serius penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
Tioria menjelaskan bahwa adanya aturan memang penting, tapi harus diawasi seperti apa tujuan, cara kerja, dan prinsip dari komisi pengungkapan kebenaran yang akan dibentuk tersebut. Namun, KontraS dan PK2TL, kata Tioria, berpendapat tidak dilibatkannya suara korban dan publik dalam penyusunannya maka proses itu sia-sia.
Padahal UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 88, 89, 96 jo. Perpres Nomor 87/2014 Pasal 171, 175 telah menyebutkan penyebarluasan RUU yang berasal dari Presiden wajib dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa, dalam hal ini Kemenkumham.
“Pada setiap tahap dimulai sejak penyusunan RUU dengan tujuan untuk memberikan informasi dan memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan, dalam hal ini korban,” tutur Tioria.
Tioria melanjutkan bahwa pemerintah harus berhenti menjadikan korban hanya sebagai obyek sosialisasi, dan mulai melibatkan korban sebagai apa adanya mereka, yakni pemangku kepentingan. “Oleh karena itu sebagai partner pemerintah, korban harus diajak berdiskusi sejak awal penyusunan kebijakan yang berimplikasi pada korban,” ujar dia.
Baca: 33 Tahun Kasus Talangsari, KontraS: Pemerintah Tidak Berpihak pada Korban