TEMPO.CO, Jakarta - Dua berita dari kanal Nasional menjadi perhatian pembaca sepanjang Selasa, 8 Februari 2022. Pertama soal petisi menolak pembangunan Ibu Kota Negara. Kedua tentang konflik agraria di Desa Wadas, Purworejo. Berikut rangkumannya
Ibu Kota Negara
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan masih terus mendapat pertentangan. Terbaru muncul petisi penolakan pembangunan yang diinisiasi kalangan akademisi di situs change.org.
Pemerintah pun merespons petisi yang telah ditandatangani sekitar 13.611 orang itu saat ini. Petisi tersebut bertajuk 'Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara' dan diinisiasi 45 akademisi.
Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Negara Sidik Pramono menegaskan pemerintah tidak akan mempermasalahkan adanya upaya penolakan melalui petisi tersebut, sebagaimana adanya upaya gugatan di Mahkamah Konstitusi terhadap UU IKN.
"Bahwa kemudian ada komponen masyarakat yang menggalang petisi, mengajukan gugatan formal, formil ke MK, tentu kami menghargai itu sebagai hak warga negara. Kami persilakan saja," kata dia saat dihubungi, Selasa, 8 Februari 2022.
Meski demikian, Sigit mengklaim, proses dan substansi pembahasan UU IKN selama ini sudah sesuai ketentuan perundang-undangan, termasuk rencana induk pembangunan IKN.
"Itu sudah sesuai ketentuan perundang-undangan. Termasuk tentu terkait rencana induk pembangunan IKN yang menyatakan pembangunan ini dilakukan secara bertahap sampai 2045," ungkap Sidik.
Lagipula, dia menekankan, dalam proses pembahasan RUU hingga UU IKN disepakati DPR dan tinggal menunggu penomoran dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi, beleid tersebut telah mendengar seluruh masukan dari berbagai komponen masyarakat. "Tapi tentu dalam proses pembangunan ini dan proses pembahasan saat UU dulu dirumuskan kami pemerintah sudah mendengarkan menyerap seluruh aspirasi masyarakat," ungkapnya.
Petisi soal pemindahan IKN ini muncul di laman change.org pada Jumat, 4 Februari. Inisiator petisi dantaranya eks Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, hingga pensiunan TNI Mayor Jenderal Purnawiranan Deddy Budiman.
Dalam penjelasan di laman Change.org, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghentikan rencana pemindahan IKN di Kalimantan. Menurut mereka, pemindahan di tengah situasi pandemi Covid-19 ini tidak tepat.
Sebelumnya, sejumlah orang yang menamakan diri Poros Nasional Kedaulatan Negara juga telah menggugat Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ke MK. Berdasarkan dokumen di situs MK, gugatan diajukan pada 2 Februari 2022.
Para penggugat berjumlah 12 orang. Mereka adalah mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, eks anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara dan eks Danjen Kopassus Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko.
Desa Wadas
Amnesty International Indonesia menilai kehadiran aparat kepolisian secara besar-besaran ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah telah mengintimidasi warga setempat. Amnesty menilai warga memiliki hak untuk menolak tambang batu andesit yang menjadi bagian dari pembangunan Bendungan Bener.
“Penurunan aparat keamanan secara besar-besaran dan bersenjata lengkap ke Desa Wadas merupakan bentuk intimidasi terhadap warga Wadas yang menolak tambang batu andesit di sana,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Februari 2022.
Menurut Wirya, warga desa berhak memberikan atau tidak memberikan persetujuan. Mereka juga berhak mengekspresikan penolakan itu secara damai. Dia menilai persetujuan dari warga tak mungkin didapatkan bila aparat menangkap warga secara sewenang-wenang.
“Bagaimana mungkin persetujuan diberikan tanpa paksaan jika ratusan anggota TNI, Polri, dan Satpol PP datangi warga? Apalagi jika polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga yang menolak tambang,” ujar Wirya.
Wirya menuturkan pemerintah harus memahami bahwa warga khawatir keberadaan penambangan akan menyulitkan hidup mereka. Warga, kata dia, jadi kesulitan memenuhi hak sosial-ekonomi seperti pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal dengan dengan keberadaan tambang tersebut.
“Bahkan hak untuk budaya di atas tanah leluhur mereka,” tutur dia. Wirya mengatakan pemerintah harus memenuhi hak warga lokal atau Desa Wadas dalam pembangunan dengan melibatkan mereka secara signifikan dan partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Baca: YLBHI Sebut 40 Warga Desa Wadas Ditangkap Polisi
ARRIJAL RACHMAN | ROSSENO AJI