Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Rumah di Jalan Solo kilometer 9 Yogyakarta itu ramai dikunjungi orang berpakaian hitam-hitam. Mereka berduka. Seniman serba bisa Saptohoedojo meninggal dunia, Rabu (3/9), pukul 05.00 WIB. Di rumah unik yang desainnya merupakan gabungan seni budaya dari Sabang sampai Merauke inilah, Sapto menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengalami stroke selama delapan tahun. Di sisi kanan jenazah, Yani Saptohoedojo, didampingi putra-putrinya menerima para takziah. Meski tampak tenang dan tabah, mata wanita asal Purwokerto ini tampak sembab. Menurut Yani, sejak setahun terakhir, pria kelahiran Solo, 6 Februari 1925 ini sudah tidak mampu bicara. "Tapi sebelumnya papi pernah berpesan agar karya-karyanya dilestarikan," kata Yani. Sapto memang seniman serba bisa. Hal itu diakui Amri Yahya, yang mengaku pernah belajar pada Sapto saat masih di Akademi Seni Rupa Indonesia. "Pak Sapto itu seniman serba bisa, melukis, patung, disain, ukir, juga keramik. Dia itu dosen saya, terutama dosen melukis perempuan cantik," katanya. Sebagai seniman yang dikenal ahli dalam melukis abstrak, Amri mengaku senang mempunyai dosen seperti Sapto. "Pak Sapto adalah salah satu ahli pelukis realis, khususnya perempuan. Perempuan yang dilukis Pak Sapto bisa lebih indah dari aslinya," lanjutnya. Di masa hidupnya, Sapto dikenal sebagai seniman barang rongsokan. Di tangan Sapto, kaca, kaleng dan barang rongsokan yang semula tidak berharga menjadi benda seni yang tak ternilai. Ia pernah memberikan sentuhan seni kepada pengrajin gerabah Kasongan, pengrajin perak di Kotagede, pengrajin ukir tembaga di Cepogo (Boyolali). Pengabdiannya itu berbuah Upakarti yang diterimanya pada 1988. LN Idayanie - Tempo News Room
Iklan
