TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo tentang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan sinyal keras untuk pimpinan partai koalisi.
“Namun apakah sinyal tersebut dapat ditangkap oleh petinggi dan anggota partai yang duduk di bangku terhormat DPR RI?” kata Erlinda dalam keterangannya, Rabu, 5 Januari 2022.
Erlinda mengatakan, pernyataan Jokowi yang berharap DPR segera mengesahkan RUU TPKS bak oase di padang pasir, akibat kelelahan menunggu lamanya proses di DPR sejak 2016.
Menurut pegiat dan pemerhati perempuan dan anak ini, belum disahkannya RUU tersebut pada sidang paripurna sebagai hak inisitiatif DPR memunculkan spekulasi di masyarakat. Apalagi, Presiden memerintahkan tim gugus tugas percepatan RUU TPKS untuk menyiapkan DIM (daftar inventaris masalah).
“Masyarakat menunggu akhir drama RUU TPKS sebagai hak inisiasi DPR dan apakah akan terjadi perubahan yakni menjadi hak inisiasi pemerintah,” ujarnya.
Erlinda menuturkan, Indonesia saat ini di ujung kedaruratan kekerasan seksual. Lambannya pengesahan RUU TPKS berpotensi pembiaran para pelaku kekerasan seksual berkeliaran di lingkungan pendidikan, ruang kantor, tempat umum, dan keluarga.
Selain itu, kata Erlinda, revictimisasi yang dialami korban mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan. Karena itu, RUU TPKS hadir dalam rangka memenuhi kebutuhan korban akan jaminan perlindungan, penanganan, dan pemulihan secara komprehensif, serta pencegahan tindakan kekerasan.
Erlinda mengatakan, korban kekerasan seksual tidak mudah mendapatkan keadilan. Mereka harus berjuang sejak proses lidik pada kepolisian, namun tidak semuanya masuk fase penyidikan hingga siap disidangkan.
Visum et repertum, Erlinda menilai menjadi salah satu kunci dalam mengungkap kasus. “Namun tidak banyak korban yang berani melapor saat terjadi tindak pidana kekerasan seksual sehingga banyak kasus tidak bisa ditindaklanjuti akibat tidak cukup bukti,” kata dia.
FRISKI RIANA