TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengaku heran dengan banyaknya periset honorer di Eijkman dan sudah bekerja hingga belasan tahun.
“Saya enggak habis pikir ada anak sudah 10 tahun tapi jadi honorer. Tiap Desember diberhentikan, Januari direkrut lagi perbarui kontrak. 10 tahun. Masa depan apa yang diharapkan? Sorry to say, saya enggak paham,” katanya kepada Tempo, Selasa, 4 Januari 2022.
Laksana mengatakan, periset honorer tersebut kebanyakan lulusan S-1 dan S-2. Jika menjalankan program yang ditawarkan BRIN, yaitu melanjutkan studi dengan skema by research dan research assistantship (RA), mereka bisa menjadi doktor dalam waktu tiga tahun sambil melakukan aktivitas riset di tempat yang sama.
“Itu lebih pasti dan legal. Karena ini program-program skema legal yang sudah disetujui Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Penggabungan Eijkman ke BRIN belakangan menjadi sorotan. Salah satunya karena berdampak pada nasib 71 peneliti honorer yang diberhentikan. Laksana mengaku sudah memberikan berbagai opsi sesuai statusnya masing-masing.
Misalnya, bagi yang berstatus PNS periset dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat menjadi peneliti.
Bagi yang berstatus honorer periset usia di atas 40 tahun dan S-3, diminta mengikuti penerimaan aparatur sipil negara (ASN) jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021.
Kemudian untuk honorer periset usia di bawah 40 tahun dan S-3, mengikuti penerimaan ASN jalur PNS. Sedangkan honorer periset non S-3, melanjutkan studi dengan skema by research dan RA (research assistantship). Sebagian ada yang melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong bagi yang tidak tertarik lanjut studi.
Adapun honorer nonperiset diambil alih pihak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke RSCM sesuai permintaan Kementerian Kesehatan yang memiliki aset tersebut sejak awal.
FRISKI RIANA