TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta menggelar acara bedah buku di Gedung Convention Hall berjudul “Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddieqy, Hazairin, Nurcholish Madjid dan Quraish Shihab” pada Rabu, 15 Desember 2021.
Acara bedah buku bertajuk “Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila melalui Festival Ide Kebangsaan” tersebut diisi oleh Dr KH. Agus Moh. Najib, M.Ag. selaku Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan Khoirul Anam selaku editor dari buku ini.
Secara garis besar buku ini adalah pendekatan yang mengkomparasikan pemikiran Yudian dengan empat pemikir muslim kontemporer terutama dalam bidang filsafat dan hukum Islam, yaitu Hasbi Ash Shiddieqy, Hazairin, Nurcholish Madjid, dan Quraish Shihab. Melansir press release dari BPIP, Buku ini memaparkan tawaran Yudian soal gagasan pembaruan hukum Islam yang berasal dari kegelisahannya terhadap maraknya ide pemberlakuan hukum Islam yang terkesan kaku. Yudian juga tidak jarang melengkapi kekurangan dari pemikiran empat tokoh sebelumnya.
Ketika dikerucutkan, setidaknya terdapat dua konsep gagasan pembaruan hukum Islam yang dapat disarikan dari pemikirannya. Pertama, mengisi hukum yang diterapkan di Indonesia dengan nilai-nilai Islam substantif. Kedua, mengkolaborasikan hukum Islam dengan nilai-nilai keindonesiaan (‘urf).
Bedah buku diawali dengan pemaparan dari Najib. Dalam pemaparannya, Najib mengatakan bahwa Yudian memiliki sanad keilmuan kombinasi antara Barat dan Timur sehingga Yudian memiliki cakupan keilmuan yang luas. “Bidang keahlian Prof. Yudian sangat luas mulai dari politik, filsafat, hukum, pendidikan, dan Islam,” kata Najib.
Najib kemudian mengatakan perlunya umat islam untuk melihat alam sebagai bagian dari kehidupan secara menyeluruh. Hal ini karena menurut Najib, untuk menguasai dunia, manusia dituntut untuk memiliki kausa materialis dan spiritualis yang seimbang.
Sepakat dengan Najib, Anam yang melanjutkan pemaparan juga setuju bahwa salah satu faktor yang menyebabkan peradaban umat Islam mundur adalah karena meninggalkan experimental sciences. “Kita beragama, menurut Prof. Yudian, hanya mengambil dari quraniyah saja dan melupakan bagian pentingnya terutama ilmu alam dan non alam,” kata Anam. Absennya experimental sciences ini juga yang mendorong lahirnya buku ini. “Buku ini lahir dari situasi kondisi mundurnya peradaban umat Islam yang meninggalkan experimental sciences,” kata Anam.
Padahal, menurut Anam, di era disrupsi seperti saat ini, umat Islam membutuhkan pemikiran yang radikal dan progresif agar ilmu fiqh tetap dinamis dan tidak ditinggalkan oleh umat. Untuk mencapai hal ini, umat Islam perlu untuk mengaplikasikan dan membumikan teori empiris yang dimiliki.
Dalam pidato pengantarnya, Dr Phil. Sahiron, M.A, Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dibalik sosok Yudian yang kontroversial, Yudian sebenarnya adalah sosok pembaharu Islam. Sahiron bahkan mengatakan banyak masyarakat yang menganggap Yudian sebagai Mujtahid atau pemikir islam kontemporer.
Anam yang juga ikut menyumbang tulisan dalam buku ini bahkan menyebut Yudian sebagai “Sunan NKRI”. Hal ini karena Yudian telah mendirikan dua yayasan dengan semangat menyematkan label “Sunan” dalam lembaga yang berada di bawah dua yayasannya. Pertama, adalah Yayasan Nawesea yang mempunyai TKIT, SDIT dan SMP Sunan Averroes. Kedua. Yayasan Tarekat Sunan Anbia. Itulah sebabnya pembaruan yang dilakukan Yudian ini disebutnya seperti “Sunan NKRI”.
NAUFAL RIDHWAN ALY