Terlebih wilayah kerja dari PRT pada ranah domestik dan privat sehingga kontrol pemerintah tidak ada. Padahal pekerjaan privat seperti ini rawan eksploitasi, diskriminasi, pelecehan bahkan kekerasan.
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo menyebutkan PRT harus mendapat pengakuan dan penghormatan. “PRT juga merupakan Ibu bangsa seperti perempuan-perempuan lain dimanapun. Harapan kami, PRT dapat diakui sebagai profesi bukan perbudakan di zaman modern”, paparnya dalam diskusi publik “Pentingnya RUU Perlindungan PRT Untuk Perempuan Indonesia”. yang diselenggarakan Komnas Perempuan 6 Juni 2020.
Dalam draft RUU mlik DPR RI juga menyebutkan urgensi pengesahan RUU PPRT, bahwa PRT golongan pekerja yang renta pasalnya tidak ada pembatasan jam kerja, tidak ada libur dan jaminan sosial. Selain itu, PRT tidak diakomodir dalam Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan bahkan dianggap pengangguran karena bukan tergolong angkatan kerja.
Dalam semangatnya RUU PPRT bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan bagi kedua belah pihak, baik pekerja maupun pemberi kerja atau majikan. Selain itu dalam pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan Indonesia untuk tidak meninggalkan siapapun dalam pembangunan, padahal selama ini para PRT tidak dikategorikan dalam tenaga kerja.
Semangat dari RUU Perlindungan PRT ini diperkuat dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 dan 2, “1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. **); (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. **) “
TATA FERLIANA
Baca: Dua PPAT Ikut Jadi Tersangka Penggelapan Surat Tanah Keluarga Nirina Zubir