TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan proses hukum terhadap Valencya alias Nengsy Lim yang dituntut satu tahun penjara karena memarahi suaminya yang mabuk. Padahal, Valencya adalah korban KDRT.
“Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam keterangannya, Selasa, 16 November 2021.
Siti mengatakan, lembaganya telah menerima pengaduan dari Valencya pada Juli 2021. Dari pengaduan tersebut, Valencya merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berulang dan berlapis.
Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang dalam kurun waktu yang lama, kata Siti, Valencya menggugat cerai suaminya, CYC. Gugatan ini telah diputus Pengadilan Negeri Karawang, pada Januari 2020, dengan memberikan hak asuh anak kepada ibu, dan pihak CYC harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya.
Pada Juli 2020, CYC mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata. Siti mengungkapkan, Pengadilan Tinggi Bandung telah memeriksa dan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama.
Baca Juga:
Atas putusan banding, CYC kemudian mengajukan permohonan kasasi yang kemudian ia cabut pada Maret 2021, sehingga putusan pengadilan tingkat pertama itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun, pada Juli 2020, CYC melaporkan Valencya atas tindak pidana KDRT psikis karena diusir dari rumah dan dihalangi bertemu dengan anak.
Siti mengatakan, CYC beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan. Atas pelaporan ini, Valencya juga melaporkan CYC pada September 2020 atas tindak pidana KDRT dan penelantaran anak. “Sementara kasus KDRT yang dilaporkan oleh Valencya tertunda proses hukumnya, kasus yang memposisikannya sebagai terlapor oleh mantan suaminya justru berlanjut,” ujar Siti.
Menurut Siti, Komnas Perempuan telah menerbitkan surat rekomendasi kepada Kejati Jawa Barat dan Polda Jawa Barat melakukan gelar perkara pada laporan yang mendudukan Valencya sebagai tersangka. Saat itu, komnas berpendapat Valencya tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT.
Komnas Perempuan juga menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap Valencya. “Namun tidak ada tanggapan atas rekomendasi tersebut, dan kasus kini justru disidangkan di Pengadilan Negeri Karawang,” kata Siti.
Komnas Perempuan pun meminta Ketua PN Karyawang mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, menggunakan putusan cerai Nomor 71/Pdt.G/2019/PN Kwg juncto No. 250/PDT/2020/PT BDG, yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya. Serta relasi kuasa di antara terlapor dan pelapor, dan memutus bebas sebagai preseden untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.