TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pendidikan DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim membatalkan aturan tentang penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Pertama, kata Ledia, tidak ada dasar hukum keluarnya Permendikbudristek tersebut. “Terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” kata Ledia dalam keterangannya, Kamis, 4 November 2021.
Ledia menjelaskan, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu harus mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat 2 UU tersebut dinyatakan bahwa peraturan menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Alasan kedua, Ledia menilai beberapa muatan Permendikbudristek tersebut jauh dari nilai-nilai Pancasila, dan cenderung pada nilai-nilai liberalisme. Pasalnya, kata Ledia, peraturan itu sama sekali tidak memasukan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di Pasal 3 Permendikbudristek.
“Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan,” ujarnya.
Selain ketiadaan landasan norma agama, Ledia memandang muatan peraturan menteri ini banyak memasukan unsur liberal dalam mengambil sikap. Misalnya, definisi kekerasan seksual menjadi bias karena “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender” dimasukan menjadi salah satu jenis kekerasan seksual. Peraturan menteri, kata Ledia, juga memasukan persoalan “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan.
Ledia mencontohkan Pasal 5 ayat 2 bahwa beraneka tindakan akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. “Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” kata dia.
Menurut Ledia, ada banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat. Padahal, ia menuturkan dalam norma agama, seks di luar nikah, juga perilaku LGBT bukan sesuai yang dibenarkan.
Alasan ketiga, Ledia melihat isi peraturan menteri ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum. Tapi hanya sekedar menyampaikan sanksi administrasi internal, dan akan menambah beban birokratisasi administrasi baru.
Politikus PKS ini mencontohkan, pada Pasal 7 dan 8 yang berfokus pada birokratisasi administrastif. Ancaman yang cukup berat pun belum nampak dalam keseluruhan muatan Permendikbudristek ini.
“Padahal salah satu sarana efektif dalam pencegahan adalah terdapatnya ancaman hukum yang jelas dan tegas secara pidana. Agar orang berpikir seribu kali kalau mau melakukan kejahatan,” ucap Ledia.
Ledia mengatakan, Permendikburistek ini juga seolah mengenyampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus kekerasan seksual, karena nampak lebih fokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satgas di lingkungan kampus.