TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. PP tersebut biasa disebut PP mengatur pengetatan pemberian remisi untuk koruptor, terorisme, dan narkoba.
"Putusan kabul hukum uji materiil," seperti dikutip dari petikan putusan pada Jumat, 29 Oktober 2021.
Pemohon uji materi ini adalah Subowo, dan kawan-kawan. Mereka merupakan mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.
Pasal yang diuji adalah Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.
Dengan adanya putusan itu, sesuai dengan permohonan Subowo dan kawan-kawan, maka MA menyatakan norma dalam pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak sah, batal demi hukum, dan tidak berlaku umum. Selain itu, materi muatan dan pelaksanaan pasal-pasal berisi syarat pemberian remisi koruptor dinyatakan bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2012, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum, dan batal demi hukum.
Dalam pertimbangannya, Ketua Majelis Supandi dan hakim anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono menyatakan bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memanjarakan pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).
Menurut hakim, narapidana bukan saja objek, tapi juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
Hakim juga mempertimbangkan hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali, yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
Persyaratan untuk mendapatkan remisi, menurut pertimbangan hakim, tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas.
Kemudian, syarat-syarat tambahan diluar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan diluar hak hukum yang telah diberikan. Sebab, segala fakta hukum yang terjadi di persidangan termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya, serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana. Sampai titik tersebut persidangan telah berakhir dan selanjutnya menjadi kewenangan Lapas.
Pertimbangan berikutnya, kewenangan untuk memberikan remisi menjadi otoritas penuh Lapas yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan.
“Bahwa Lapas dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya,” demikian poin pertimbangan dalam dokumen putusan.
Hakim juga mempertimbangkan bahwa remisi diberikan kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu. Juga bahwa warga binaan tidak menunjukan perilaku yang bertentangan dengan tujuan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
FRISKI RIANA
Baca: ICW Jelaskan Dampak Pencabutan Aturan Tentang Pengetatan Remisi Koruptor