TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh menemukan tiga kejanggalan dalam vonis bebas terdakwa pemerkosaan terhadap anak kandung oleh Mahkamah Syariah Aceh. LBH menyatakan telah mendiskusikan kejanggalan itu bersama pihak keluarga korban. Keluarga korban sepakat untuk didampingi oleh LBH Banda Aceh.
"Kejanggalan itu telah kami laporkan ke Komisi I DPR Aceh," kata Direktur LBH Banda Aceh Syahrul saat dihubungi, Sabtu, 9 Oktober 2021.
Syahrul mengatakan kejanggalan pertama adalah Mahkamah menganggap keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti. Dia menilai penilaian itu tidak sesuai dengan sistem peradilan anak. Dalam sistem peradilan anak, kata dia, keterangan dari anak bisa dianggap sebagai bukti dengan diperkuat oleh pendampingan psikolog.
"Psikolog telah memberikan keterangan bahwa apa yang terjadi pada anak itu adalah benar," kata dia.
Keanehan kedua, kata Syahrul, pengadilan tingkat banding juga menyatakan secara sepihak bahwa cairan putih yang ada di alat vital korban bukanlah cairan sperma. Namun, pengadilan menduga bahwa itu merupakan flek.
Menurut Syahrul, kesimpulan itu janggal, sebab Mahkamah Syariah hanya memeriksa dokumen dan tidak mendengar keterangan langsung dari dokter. Kesaksian dari dokter, kata dia, telah dilakukan di tingkat pertama. "Dokter menyebutkan itu adalah akibat perkosaan," kata Syahrul.
Keanehan ketiga, Syahrul melanjutkan pengadilan juga menganggap ibu korban melaporkan kasus tersebut karena dendam kepada mantan suaminya itu. Itu aneh, karena keterangan dokter menyatakan bahwa pemerkosaan benar-benar terjadi. "Hasil visum si anak benar-benar terjadi," kata dia.
Sebelumnya, Hakim Mahkamah Syariah Aceh memvonis bebas pelaku pemerkosaan anak di bawah umur yang diduga dilakukan SU. Vonis di tingkat banding itu menggugurkan vonis di tingkat pertama yang menghukum 180 bulan penjara.
Baca: Mahkamah Syariah Aceh Vonis Bebas Terdakwa Pemerkosaan Anak Kandung