TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta pemerintah agar tak menjadikan Pekan Olahraga Nasional 2020 atau PON Papua sebagai dasar untuk menutupi persoalan sistemik yang masih terjadi di Papua. Mereka menegaskan masih banyak masalah di Papua yang belum diselesaikan pemerintah.
"Kami ingin mengatakan bahwa PON tak bisa menjadi landasan pemerintah bahwa situasi Papua baik-baik saja," kata Peneliti KontraS Rozy Brilian, dalam konferensi pers daring, Rabu, 29 September 2021.
Hal pertama yang jadi sorotan Rozy adalah soal hak atas kesehatan warga Papua. Menjelang pembukaan PON Papua pada 2 Oktober 2021 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), KontraS melihat risiko penularan Covid-19 masih terhitung tinggi.
Selain vaksinasi yang masih rendah, empat daerah penyelenggara PON diketahui masih ada dalam zona merah Covid-19. Keempat daerah itu ialah Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mimika, dan Merauke.
"Hak kesehatan atas warga Papua harus jadi prioritas utama. Pemerintah harus melakukan pendekatan. Pertama soal keterjangkauan (akses kesehatan), penerimaan, dan kualitas," kata Rozy.
Dari parameter itu, ia mengatakan situasi Papua saat ini masih jauh dari kata ideal. Masih banyak permasalahan fundamental yang belum diselesaikan pemerintahan Jokowi. Rozy menegaskan PON Papua justru berpotensi memperparah kondisi pandemi Covid di Indonesia, khususnya di Papua.
Lalu Rozy menyoroti adanya penambahan aparat ke Papua atas nama pengamanan PON XX. Ia menyebut langkah tersebut justru malah kontraproduktif dengan strategi pemerintah untuk menyelesaikan konflik di papua.
"Negara menurunkan pasukan terbaiknya yang disiapkan untuk perang. Untuk apa pengamanan PON tapi menerjunkan prajurit untuk perang," kata Rozy.
Justru Rozy melihat rangkaian penerjunan aparat tambahan ini sebagai bentuk masih kuatnya pandangan sekuritisasi Papua. Ia melihat pemerintah gagal memahami akar konflik di Papua dan justru membuka potensi adanya kekerasan lain di sana dengan membuka jalan keamanan.
Selanjutnya, Rozy menyoroti masalah diskriminasi dan stigmatisasi, khususnya terhadap orang asli Papua. Hal ini diduga banyak dilakukan oleh aparat keamanan. Yang terjadi, menurut KontraS, justru normalisasi kekerasan oleh polisi dan tak adanya evaluasi yang jelas di tubuh TNI maupun Polri.
"Jalan negara melihat Papua cukup gagal, terlebih setelah Maret lalu negara menetapkan KKB sebagai kelompok teroris. Kembali mereka menggunakan pendekatan stigmatisasi," kata Rozy.
Terakhir, Rozy menyoroti tentang masalah ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan PON Papua. Ia melihat saat persiapan PON sangat minim diisi dengan tenaga kerja Papua. Hal ini dikuatkan pernyataan Menteri Olahraga Zainuddin Amali yang menyebut pekerja konstruksi didatangkan dari luar Papua.
"Padahal tenaga kerja asli Papua bisa dilibatkan dan dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas. Hal ini juga sudah sempat disuarakan oleh perwakilan masyarakat adat Papua," kata peneliti KontraS.
Baca juga: PON Papua Belum Dibuka, Persaingan Perebutan Medali Sudah Memanas