TEMPO.CO, Kebumen - Sisa luka tembak masih membekas di punggung kanan Mulyanto, warga Setrojenar, Buluspesantren, Kebumen. Tembakan itu menyasar Mulyanto saat bentrokan antara warga Urut Sewu dengan personel TNI AD meletus pada 16 Juni 2011.
Lelaki berusia 41 tahun itu masih ingat kejadian yang membuat jantungnya hampir tertembus peluru tersebut. Mulyanto menceritakan, dia sempat lari saat mendengar anggota TNI AD mengeluarkan tembakan. Ketika berusaha menjauhi bentrokan, sebutir peluru yang keluar dari moncong senjata tentara bersarang di punggungnya. "Tahu-tahu sudah keluar darah," ujarnya pada 23 Maret 2021.
Awalnya warga dari berbagai desa di Urut Sewu sedang ziarah di makam lima anak yang meninggal akibat ledakan mortir sisa latihan TNI AD pada 1997. Warga rutin menziarahi pusara lima korban tersebut untuk memupuk semangat perjuangan mempertahankan tanah mereka.
Ketika berziarah warga mendengar kabar TNI AD menurunkan spanduk yang mereka pasang. Sepanduk tersebut berisi penolakan warga atas klaim TNI AD terhadap tanah mereka. Blokade kayu yang dipasang warga di jalan menuju lokasi latihan TNI AD juga dibongkar.
Aksi penurunan spanduk itu dibalas warga dengan merobohkan gapura milik TNI AD. Warga juga hampir merusak bangunan milik TNI AD namun urung dilakukan. "Rumah itu berdiri di atas tanah bersertifikat milik warga," kata Solekhan, salah satu warga Setrojenar yang kemudian tersandung hukum karena kejadian itu.
Rombongan warga lantas bergerak ke arah utara menuju perkampungan. Di perempatan Jalan Lintas Selatan Selatan tak jauh dari Kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Darat mereka bertemu dengan anggota TNI AD. Warga yang mengira tak akan diserang tetap melanjutkan perjalanan. Bentrokan kemudian pecah ketika dua kubu itu bertemu.
Berhadapan dengan tentara yang bersenjata warga kocar-kacir. "Ada yang dipukul sampai pingsan di sana," ujar Solekhan. Warga kemudian berusaha menyelamatkan diri dengan lari menjauh seperti yang dilakukan Mulyanto. Namun, tentara tetap menyerang dengan melepaskan tembakan.
Akibat kejadian itu sedikitnya empat warga Urut Sewu menderita luka tembak. Mereka kemudian dirawat di rumah sakit untuk mengangkat proyektil yang bersarang di tubuhnya. Sementara warga yang tak sadarkan diri karena pukulan dibawa ke Dislitbang oleh TNI AD.
"Warga tidak ada perlawanan," sebut Solekhan.
Esoknya, buntut kejadian itu polisi menangkap tiga warga Setrojenar yaitu Solekhan, Mulyono, dan Adi Wiluyo. "Saya dibawa ke Polsek. Paginya dibawa ke Polres," ujar dia. Selang sehari, polisi kembali menangkap seorang warga yaitu Sobirin.
Keempat warga tersebut dituduh secara terang-terangan bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang. Dalam salinan dokumen persidangan yang kami peroleh, mereka juga dituduh sengaja melawan hukum menghancurkan, merusak, atau menghilangkan barang milik orang lain.
Setelah menjalani sejumlah rangkaian persidangan, mereka divonis penjara 5 bulan 28 hari. Lantaran telah menjalani masa tahanan yang sama dengan putusan persidangan, empat warga Setrojenar tersebut langsung dibebaskan.
Aksi represif TNI AD terhadap warga di Urut Sewu tak hanya kali itu saja. Pada 2019 warga kembali jadi sasaran amuk tentara ketika menolak rencana pemagaran oleh TNI AD. Akibatnya belasan warga terluka. Ketika itu juga ada warga yang mengalami luka tembak peluru karet.
Pagar yang dibangun TNI AD itu membentang membelah lahan pertanian warga. Belakangan, titik pendirian pagar itu dikoreksi berada di luar wilayah yang diakui TNI AD. Berdasarkan klaim terbaru TNI AD yang mereka sebut merujuk peta minute, batasnya bergeser ke arah selatan mendekat ke bibir pantai.
Berpegang peta minute itu, TNI AD mengajukan penyertifikatan lahan di lima belas desa di Urut Sewu Kebumen. Proses penyertifikatan itu telah berlangsung sejak Februari tahun lalu. TNI AD bersama Badan Pertanahan Nasional telah melakukan pengukuran di lapangan.
Hasilnya, BPN telah menerbitkan 9 sertifikat hak pakai untuk TNI AD tanah di Desa Tlogopragoto seluas 24,68 H, Tlogodepok 59,58 H, Mirit 22,98 H, Lembupurwo 84,51 H, Ambalresmi 47,72 H, Kenoyojayan 24,78 H, Sumberjati 55,46 H, Entak 78,38 H, dan Brecong 65,24 H. Sehingga total luas tanah yang telah disertifikat TNI AD 464,327 H.
Klaim terbaru TNI AD itu sekaligus menganulir pengakuan mereka termasuk ketika membangun pagar. TNI AD pada 2007 pernah mengaku lahan di pesisir Urut Sewu dari bibir pantai hingga Jalan Lintas Selatan Selatan Kebumen merupakan milik mereka.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa mengatakan telah melarang penggunaan peluru tajam atau bahan yang bisa meledak untuk latihan di Urut Sewu. "Saya sudah menghentikan penggunaan lahan di Urut Sewu untuk menembak dengan peluru sebenarnya," kata dia pada 4 September 2021.
Dia juga memerintahkan anak buahnya tak melakukan tekanan terhadap siapa pun. Andika mengatakan, kejadian yang melibatkan kontak fisik dengan warga tak akan terulang. "Intinya Angkatan Darat akan memegang legalitas," ucapnya.
"Kami tak akan turun atau memaksakan secara sepihak wilayah yang belum secara resmi bisa kami pakai."
Kepada warga yang menolak penerbitan sertifikat hak pakai lahan di sembilan desa untuk TNI AD, Andika mempersilakan menempuh jalur hukum. "Monggo, punya hak setiap warga negara untuk misalnya membawa tuntutannya ke ranah hukum. Kami terbuka sekali," ujar dia.
Catatan Redaksi
Laporan ini merupakan hasil liputan kolaborasi bersama Irwan Syambudi (Tirto.id), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), Anindya Putri Kartikasari (KBR), dan Stanislas Cossy (Serat.id)