INFO NASIONAL – Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menerapkan konsep penangkapan terukur mulai Januari 2022. Kebijakan ini penyeimbang antara prinsip ekonomi dan ekologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan berkelanjutan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan latar belakang kebijakan tersebut lantaran dia kerap ditanya tentang IUU Fishing (Illegal, Unreported,and Unregulated) di Indonesia.
“Negara-negara maju di high level panel SDGs sering bertanya tentang IUU Fishing di Indonesia. Saya bingung kenapa tetap dibicarakan, padahal kita sudah menangkap ratusan kapal asing di wilayah perairan kita,” kata Trenggono dalam Bincang Bahari bertajuk “Mengelola Sektor Kelautan dan Perikanan di Tengah Pandemi” di Ruang Archipelago, KKP, Jakarta, Selasa, 21 September 2021.
Ternyata yang dimaksud penangkapan ikan ilegal oleh negara-negara maju bukan hanya kegiatan menangkap kapal asing. “Tetapi juga pola penangkapan ikan di dalam negeri masih banyak yang belum benar,” ujarnya.
Menteri Trenggono membentuk unit kerja di KKP untuk meriset masalah tersebut. Hasilnya, di seluruh dunia hanya tiga negara yang masih melakukan penangkapan ikan secara bebas, yakni Vietnam, Filipina, dan Indonesia. “Hal itu menjadi konsen saya. Bagaimana mengelola kelautan perikanan ini tidak lagi memakai metode penangkapan barbar,” katanya.
Trenggono mengatakan implementasi penangkapan terukur basisnya adalah kuota, yaitu kuota untuk industri, kuota untuk nelayan tradisional dan kuota untuk hobi. Penangkapan ikan terukur ini juga dibagi dalam tiga zona, yaitu zona industri, zona untuk nelayan tradisional, dan zona spawning ground, wilayah untuk ikan bisa beranak pinak.
“Zona industri nanti punya manfaat yang cukup bagus. Kalau sekarang ini semua tangkapan muaranya ada di Jawa, contohnya nangkep di Jayapura dibawa ke Jawa. Nanti kita geser, jadi penangkapan itu hanya di wilayah-wilayah penangkapan,” ujarnya. Konsep ini memungkinkan ekspor bisa langsung dilakukan di wilayah penangkapan, tidak lagi berpusat di Jawa.
Manfaat lainnya, kata Trenggono, penangkapan ikan yang langsung dimanfaatkan oleh wilayah penangkapan dapat menambah pendapatan daerah. Contoh, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 meliputi Provinsi Maluku, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di WPP tersebut mencapai Rp 3 triliun per tahun.
“Selama ini mereka tidak mendapat PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari WPP itu. Ke depan, akan ada manfaat. Para gubernur menyatakan sangat mendukung kebijakan ini, karena mereka merasa perikanan di wilayah mereka akhirnya benar-benar ada di ‘rumah’ mereka,” tutur Trenggono.
Tantangan terhadap kebijakan penangkapan terukur yakni pemahaman nelayan tradisional. Pasalnya, penangkapan terukur berarti menentukan jenis ikan yang boleh dijaring pada waktu tertentu maupun zona yang diizinkan. “Bisa jadi ada nelayan lokal belum paham makna penangkapan terukur akan protes,” kata Trenggono. Namun, ia memastikan prinsip keadilan diterapkan dalam kebijakan penangkapan terukur ini. Di setiap zona akan dibagi kuota untuk industri dan kuota untuk nelayan tradisional.
Kebijakan penangkapan terukur juga membutuhkan kontrol ketat di seluruh wilayah perairan Indonesia. Untuk iyu KKP sedang menyusun anggaran untuk menyediakan kapal-kapal yang akan berpatroli terus-menerus. “Juga akan ada pesawat pengawas dan teknologi satelit,” katanya.
Sebagaimana telah berlaku saat ini, setiap kapal penangkap ikan wajib dilengkapi dengan Automatic Identification System (AIS) dan Vessel Monitoring System (VMS) yang dapat mendeteksi dari posisi kapal hingga jumlah muatannya.
Melalui kebijakan penangkapan terukur, Trenggono berharap tugasnya sebagai menteri dapat mewariskan manfaat untuk generasi mendatang. Prinsipnya adalah bagaimana menjaga ekologi. Keberadaan saya di sini harapannya generasi berikut masih bisa mendapat manfaat. Jadi ekologi adalah utama, ekonomi itu manfaatnya,” ujarnya. (*)