TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengatakan banyak tafsir yang muncul sejak partainya kembali bergabung di barisan koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, menurut Viva Yoga, sejak 1999 PAN memang selalu menjadi koalisi pemerintah.
Viva mengatakan, PAN bergabung ke kabinet sejak era Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hanya saja, PAN tak sampai akhir bergabung di periode pertama Jokowi.
"Kemudian masalahnya menjelang Pilpres 2019 PAN yang berada di koalisi mengajukan cuti izin karena ada perbedaan pilihan pasangan capres-cawapres," kata Viva Yoga dalam diskusi daring yang digelar ILUNI UI, Sabtu, 11 September 2021.
PAN ikut mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019. Kader PAN yang duduk di kabinet Jokowi, Asman Abnur, lantas mengundurkan diri dari posisi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Menurut Viva Yoga, mundurnya PAN dari koalisi pemerintah kala itu bukan bentuk berkhianat.
"Jadi sebenarnya proses untuk mundur dari kabinet itu bukan karena khianat," ujarnya.
Viva Yoga mengatakan sebenarnya sangat mudah membaca pergerakan PAN, yakni menganut amar maruf nahi munkar. "Jadi bukan soal khianat tapi untuk menjaga moral politik karena berbeda pilihan," kata dia.
Namun, Viva melanjutkan, proses tersebut kini telah selesai. Pascapilpres 2019, kata dia, Presiden Jokowi menerapkan strategi politik akomodasi dengan mengajak pasangan calon yang kalah untuk masuk ke kabinet.
Ia menganggap hal tersebut merupakan budaya politik khas Indonesia yang berbeda dari negara lain. Menurut dia, pasangan yang menang bukan mengambil semua keuntungan dan yang kalah merugi, tapi semuanya bisa bergabung dalam koalisi pemerintahan.
"Bukan the winner takes all atau zero sum game, tapi ini bagian dari budaya politik yang harus menjadi bagian dari budaya kita, politik gotong royong," ucap Viva Yoga.
PAN kembali bergabung dengan koalisi pemerintah setelah turut dalam pertemuan Presiden Jokowi dan pimpinan partai pendukungnya pada Rabu, 25 Agustus lalu. Partai berlambang matahari terbit ini juga disebut-sebut akan mendapat jatah di kabinet.
Adapun di sisi lain, politik akomodasi ala Jokowi kerap dikritik berbagai kelompok sipil, pegiat demokrasi, dan pengamat politik. Konsolidasi kekuasaan dan koalisi gemuk itu dikhawatirkan mengikis checks and balances, serta berbahaya bagi demokrasi.
"Dampaknya demokrasi di Indonesia semakin tidak berkualitas dan makin berbahaya karena makin bertambahnya pendukung, rusaknya demokrasi," ujar sosiolog Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, saat menanggapi makin gemuknya koalisi Jokowi dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional.
Baca juga: PAN Usul Amandemen UUD 1945 Ditunda karena Masih Pandemi Covid-19
BUDIARTI UTAMI PUTRI