TEMPO.CO, Jakarta - Pada 26 Oktober 1966, UNESCO menetapkan 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Namun, hari monumental itu baru diperingati untuk pertama kalinya pada 1967.
Sejak saat itu, peringatan Hari Aksara Internasional rutin dilaksanakan untuk setiap tahunnya guna mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai hak asasi manusia serta mengajak masyarakat untuk memajukan agenda literasi supaya bisa berkehidupan yang lebih baik lagi.
Dikutip dari paudpedia.kemdikbud.go.id, Pengadaan Konferensi Dunia untuk Menteri Pendidikan dari seluruh negara yang diselenggarakan di Teheran, Iran, 8-19 September 1965 dengan tujuan untuk pemberantasan buta aksara merupakan titik awal dari lahirnya gagasan Hari Aksara Internasional atau International Literacy Day. Dari hasil konferensi itu pula lahirlah antara lain langkah bersama untuk mengurangi angka buta huruf yang mencapai 350 juta orang dalam jangka waktu 10 tahun (1965-1975).
Kemudian gagasan untuk pemberantasan buta huruf juga dilakukan di Indonesia sejak tahun 1946 dan baru disebarluaskan ke seluruh Tanah Air pada 1949. Pada 1945, sekitar 90 persen penduduk di Indonesia masih buta huruf. Catatan ini pun membaik pada tahun 1959. Angka buta huruf berkurang menjadi sekitar 42 persen atau sebanyak 24 juta orang.
Lalu menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk buta aksara di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 2,96 juta orang atau 1,71 persen dari total jumlah penduduk. Persentase ini agak sedikit berkurang dari tahun 2019 yang telah mencapai angka 1,78 persen atau 3,08 juta orang.
Memang upaya untuk meningkatkan angka melek huruf terus dilakukan di seluruh dunia, masih menjadi pekerjaan rumah Hari Aksara Internasional. UNESCO sendiri telah menyebutkan bahwa pada 2021 ini masih terdapat sekitar 773 juta anak muda serta orang dewasa yang masih kurang keterampilan literasi dasar.
PRIMANDA ANDI AKBAR
Baca: Guru Malas Membaca, Literasi Indonesia Rendah