TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla atau JK meyakini kepemimpinan Taliban di Afghanistan saat ini akan menggunakan sistem pemerintahan yang lebih terbuka. Ia menilai tak mungkin Taliban akan menerapkan sistem pemerintahan yang eksklusif seperti saat mereka memerintah 25 tahun lalu.
"Kalau mengulangi pemerintahan 25 tahun yang lalu, itu hanya 3 negara yang mengakui, yaitu Saudi, Irak, dan Pakistan. Akhirnya pemerintahnya tak mendapat respect, dan tak ada kerja sama, ekonominya susah," kata JK saat menjadi pembicara kunci di Center for Dialogue and Cooperation Among Civilization (CDCC), secara daring, Jumat, 3 September 2021.
Tak diakuinya pemerintahan oleh masyarakat internasional, diyakini JK akan membuat Afghanistan tak bisa mengembangkan ekonominya. Sedangkan ekonomi yang lemah akan berdampak pada ketidakstabilan pemerintahan. Jika dibiarkan, maka Afghanistan di bawah Taliban akan kembali menjadi negara yang otoriter.
JK mengakui sulit memastikan apakah Taliban akan menjadi negara yang lebih demokratis dan terbuka. Meski saat ini sejumlah pejabat pemerintahannya menjamin mereka akan lebih terbuka, namun nyatanya Gubernur Bank Sentral yang dipilih pemerintahan saat ini juga dinilai kurang berkompeten.
Namun, JK tetap meyakini harapan untuk menjadi negara yang lebih baik tetap terbuka bagi Afghanistan, selama Taliban mau menjalankan sistem yang terbuka.
"Berbagai risiko akan muncul. Tapi dengan harapan bahwa ke depannya selama dia terbuka. Jadi kita menunggu apa yang dikatakan itu dilakukan," kata JK.
Indonesia, menurut JK, telah mencoba membantu mengembangkan kualitas sumber daya manusia warga Afghanistan dengan mengundang 100 teknisi untuk belajar pertambangan di Indonesia. Tak hanya belajar teknik, mereka juga dikenalkan kultur Islam di Indonesia dengan pesantrennya.
"Saya juga undang ketua Taliban ke sini termasuk pemerintahnya untuk melihat Islam di Indonesia moderat," kata JK.