Maka dari itu, SETARA Institute juga mendesak pemerintah dan DPR yang sedang dalam proses melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menghapus pasal-pasal penodaan agama dalam RKUHP. Sebagai gantinya, negara mesti merumuskan pidana hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime) berdasarkan sentimen keagamaan. Selebihnya, kita tidak kekurangan pakar dan akademisi hukum pidana untuk merumuskan element of crime dalam pidana hasutan dan kebencian atas dasar agama dan keagamaan.
Di samping itu, beberapa norma dan dokumen internasional bisa dijadikan dasar seperti Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah kita ratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005. Selain itu, negara dapat merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa.
Terakhir, SETARA Institute juga mendorong organisasi-organisasi keagamaan yang untuk mengoptimalkan agenda-agenda membangun imunitas dan resiliensi umat beragama dari paparan hasutan dan provokasi untuk membangun kebencian dan melakukan intoleransi, diskriminasi, dan persekusi atas kelompok keagamaan yang berbeda. Semakin pesatnya perkembangan dunia digital dan pemanfaatannya saat ini di masa pandemi turut memberikan ruang besar bagi hasutan dan provokasi kebencian berdasarkan agama.
Dalam konteks demikian, lanjut SETARA Institute, potensi hasutan dan provokasi kebencian tidak hanya bersumber dari saluran-saluran dan figur-figur dalam negeri, namun juga datang dari luar negeri. Oleh karena itu, kontribusi dan terobosan organisasi-organisasi keagamaan sangat diperlukan untuk mengembangkan keberagamaan yang rasional, toleran, dan damai dalam tata kebinekaan Indonesia.
Baca juga: Jadi Tersangka Penodaan Agama, Muhammad Kece Diancam 6 Tahun Penjara
ANDITA RAHMA