TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar kasus dugaan kekerasan yang dilakukan prajurit TNI terhadap PS, anak usia 13 tahun di NTT, dibawa ke peradilan umum.
“Koalisi mendesak Kapolri memerintahkan Kapolda NTT agar memerintahkan jajaran di bawahnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindakan kekerasan terhadap PS,” kata peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, dalam keterangannya, Selasa, 24 Agustus 2021.
Penyiksaan terhadap PS terjadi pada 19 Agustus 2021 karena dituduh mencuri ponsel milik prajurit TNI tersebut. Berdasarkan informasi yang didapat, Ikhsan menuturkan, korban mengalami nyeri pda tubuh, mulutnya berdarah, luka lecet di wajah dan bagian tubuh lainnya.
Selain itu, alat kelamin korban juga ditempelkan dengan lilin dan pasta gigi, lalu dibakar dengan api. Perlakuan kejam tersebut membuat korban tidak tahan hingga terpaksa mengaku mencuri ponsel, padahal faktanya korban tidak mengetahui soal pencurian itu.
“Tidak hanya luka fisik yang diderita, korban juga mengalami trauma pasca peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI tersebut,” ujar Ikhsan.
Menurut Ikhsan, dari fakta peristiwa itu dapat diindikasikan bahwa perbuatan prajurit TNI itu telah melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM). Koalisi juga menilai perbuatan tersebut merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak, sehingga harus dibawa ke peradilan umum.
Ikhsan mengatakan, koalisi meminta Panglima TNI segera memberhentikan secara tidak hormat terhadap prajurit TNI Serka AOK dan Serma B yang melakukan tindak kekerasan terhadap PS.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga diminta mendampingi dan memberikan fasilitas pemulihan psikologis bagi korban. Koalisi meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberi perlindungan bagi korban, keluarga korban, dan saksi dalam menuntut haknya mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan prajurit TNI.
Terakhir, Koalisi meminta pemerintah dan DPR melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.