TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Direktur Public Virtue Research Institute, Anita Wahid, menilai pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dua tahun terakhir merupakan salah satu jalan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai agenda tertentu.
"Ada agenda tertentu yang sebenarnya terhambat dengan demokrasi. Di saat yang sama, mereka yang punya agenda ini ternyata otoritarianisme itu belum tentu aman juga. Jadi mereka butuh kondisi yang seakan-akan di negara ini ada demokrasi, tapi ada bagian demokrasi tertentu yang ditekan supaya mereka leluasa. Nah usaha penekanan ini lah yang menjadi bagian agenda tersebut, di mana salah satunya adalah pelemahan KPK," ujar Anita melalui diskusi daring pada Ahad, 15 Agustus 2021.
Bahkan, Anita Wahid melihat bahwa pelemahan KPK menjadi tanda-tanda terjadinya regresi demokrasi. Ia menjelaskan, regresi demokrasi dilakukan melalui dua arah, yakni dari atas dan dari bawah.
Regresi demokrasi dari atas dilakukan oleh aktor anti demokrasi yang ada dalam elit politik dan institusi formal negara. Artinya, dari mereka, muncul sejumlah kebijakan yang sangat represif dan cenderung menuju ke arah otoritarianisme. Sementara regresi demokrasi dari bawah yakni dengan memanfaatkan gerakan anti demokrasi di masyarakat, di mana polarisasi telah terbentuk sejak 2014.
Anita menjelaskan, KPK dianggap keping besar lantaran lembaga tersebut didirikan sebagai amanat reformasi. Sehingga KPK selama ini menjadi bagian yang paling kuat dan sulit diutak-atik oleh mereka yang berkepentingan.
"Butuh usaha yang lebih besar untuk melemahkan KPK. Kalau dulu selalu sulit, maka melalui penggunaan polarisasi, itu menjadi sangat mudah. Akhirnya serangannya mengakibatkan KPK secara dari dalam menjadi lemah, dan ditambah serangan dari luar," kata Anita.
Anita pun berharap masyarakat terus mengawal dan menyerukan kritik atas usaha-usaha terhadap pelemahan KPK, sehingga tidak akan timbul normalisasi akan kondisi KPK saat ini.
ANDITA RAHMA
Baca: Novel Baswedan: Misi Utama 57 Pegawai Menjaga KPK dari Upaya Pelemahan