TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mendeteksi varian Delta plus atau B.1.617.2.1. atau AY.1, sudah masuk di Indonesia.
Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Herawati Sudoyo mengatakan, sampai saat ini, varian Delta plus ditemukan di dua daerah. "Ada 2 kasus di Jambi dan 1 dari Mamuju," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 30 Juli 2021.
Secara umum, Herawati, menyebut, varian Delta plus tidak jauh berbeda dengan varian Delta yang pertama kali ditemukan di India. Perbedaan utamanya adalah mutasi tambahan pada protein spike yang disebut K417N. "Ini adalah varian Delta dengan tambahan mutasi K417N," tuturnya.
Eikjman, ujar dia, sampai saat ini belum memiliki bukti yang cukup untuk menyimpulkan apakah varian ini lebih berbahaya atau mematikan daripada varian lainnya.
"Jumlahnya masih terlalu sedikit untuk melihat data klinis. Sampai saat ini, belum dikatakan ada hubungan dia lebih berbahaya dari varian Delta. Lebih kepada respons terhadap antibodi netralisasi," tuturnya.
Sebelumnya, anggota Komisi IX DPR, Intan Fauzi mengingatkan agar pemerintah waspada penyebaran varian anyar ini. Sebab, varian delta plus sudah menyebar di 11 negara.
Ia mendorong pemerintah memperkuat Whole Genome Sequencing (WGS) atau upaya mengetahui penyebaran mutasi Sars-Cov-2 di Indonesia agar memiliki basis dalam pengambilan kebijakan kesehatan penanganan pandemi COVID-19.
"Manfaat WGS sebagai data keseluruhan sangat penting untuk penanganan pandemi, apalagi dengan penambahan kasus positif per hari dan angka kematian yang tinggi, juga pengadaan jenis vaksin yang digunakan," kata Intan soal varian delta plus.
Baca juga: Jokowi: Penularan Varian Delta Semakin Cepat, Kita Harus Tahan Banting