TEMPO.CO, Jakarta - Kekerasan terhadap anak di Indonesia telah masuk dalam tarap mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari-9 Juni 2021 terjadi 2.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan 2.347 korban dan 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban.
Kepala Biro Data dan Informasi Kemen PPPA Lies Rosdiantydikutip dari paudpedia.kemdikbud.go.id, Juni lalu menyebutkan data yang valid sangat bermanfaat untuk mengidentifimasi masalah dan menentukan opsi terbaik dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain adanya bentuk kekerasan fisik terhadap anak, ada juga bentuk kekerasan lain yang dialami oleh anak-anak. Misalkan kasus penjualan anak atau perdagangan anak untuk tujuan komersial, itu juga merupakan salah satu bentuk lain dari kekerasan terhadap anak. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional atau KPAI pada 2019, saat ini sudah tercatat lebih dari tiga ribu anak telah menjadi korban kekerasan dan sudah diperjualbelikan di banyak negara terutama di Asia Tenggara seperti di Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Pemerintah telah mempunyai beberapa peraturan khusus untuk perlidungan terhadap anak-anak. Peraturan tersebut terdiri dari Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, serta Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
Meskipun sudah ada undang-undang, masyarakat juga harus ikut berperan dalam melindungi hak-hak anak, khususnya kekerasan terhadap anak. Jangan sampai mereka menjadi pelaku utama, karena bila sudah seperti itu maka berbahaya untuk ke depannya. Masyarakat tentunya harus menjadi garda terdepan untuk selalu mengayomi dan melindungi serta memperjuangkan terpenuhinya hak anak-anak.
PRIMANDA ANDI AKBAR