TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia menilai substansi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua hasil revisi berpotensi kian mengancam perlindungan hak-hak orang asli Papua. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan ada sejumlah pasal di UU Otsus Papua yang justru melemahkan representasi kultural masyarakat Papua.
"Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam," kata Usman dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 Juli 2021.
Usman mencontohkan Pasal 76 dalam UU Otsus Papua yang baru yang mengatur mengenai pemekaran wilayah. Dalam ketentuan anyar ini, pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran wilayah Papua menjadi daerah otonom tanpa melewati tahapan daerah persiapan.
Usman mengatakan hal ini bertentangan dengan UU Otsus Papua versi sebelumnya. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 itu, pemekaran wilayah dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi serta perkembangan di masa datang.
"Itu melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua," ujar Usman.
Usman Hamid mengatakan, UU Otsus Papua pada mulanya merupakan respons atas seruan penentuan nasib sendiri bangsa Papua, yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. UU ini, kata Usman, dimaksudkan untuk memberi orang Papua lebih banyak ruang untuk mengatur diri mereka sendiri sembari tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Salah satu fokus utama dari perlindungan hak-hak orang asli Papua, yakni masyarakat adat. Istilah "masyarakat adat" dan "masyarakat hukum adat" muncul 62 kali dalam teks undang-undang tersebut.
Namun dalam praktiknya, Usman melanjutkan, perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan. Ia menyebut, pengelolaan sumber daya alam seringkali diabaikan dengan adanya peraturan-peraturan yang bertentangan.
Usman mencontohkan berlanjutnya deforestasi di Papua. Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara tahun 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.
Ia mengatakan, implementasi UU Otsus Papua yang tak sesuai inilah yang mengakibatkan ketidakpuasan meluas terhadap otonomi khusus. Dalam setahun terakhir, berbagai protes menolak perpanjangan otsus pun merebak di Papua dan daerah lain.
Namun pada Kamis, 15 Juli kemarin, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan hasil revisi UU Otsus Papua menjadi undang-undang.