TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy mempertanyakan rencana pembentukan badan khusus yang mengurusi otonomi khusus Papua. Pembentukan badan khusus itu diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) hasil revisi yang disahkan hari ini, Kamis, 15 Juli 2021.
"Itu justru menjadi satu pertanyaan besar, badan ini dia akan lakukan tugas apa, apakah dia akan menjadi semacam pesaing gubernur yang ada di Jayapura dan Manokwari dan segenap perangkatnya," kata Yan Christian kepada Tempo, Rabu malam, 14 Juli 2021.
Sebab, Yan melanjutkan, pemerintah daerah Papua dan segenap perangkatnyalah yang akan menjalankan dan menerima dana otsus. Ia pun bertanya-tanya sinkronisasi semacam apa yang bakal dilakukan oleh badan khusus tersebut.
Yan khawatir pembentukan badan khusus itu bagian dari upaya pemerintah melakukan sentralisasi kekuasaan dari pusat sampai ke daerah. Padahal, kata advokat dan pembela HAM di Papua ini, semangat otonomi adalah desentralisasi. "Desentralisasi dengan sendirinya jadi hilang karena badan ini," kata Yan.
Menurut Yan Christian, ketentuan ihwal badan khusus itu juga justru bertabrakan dengan Pasal 32 UU Otsus Papua lawas. Pasal tersebut mengatur tentang pembentukan komisi hukum adhoc untuk efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Papua.
"Dia akan menafikan apa yang kami perjuangkan dulu supaya ada amanat Pasal 32, yang sekarang juga sama sekali tidak diubah, yaitu komisi hukum adhoc," ucapnya.
Yan Christian mengatakan, komisi hukum adhoc itu sedianya bertugas membantu gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dalam menyelesaikan peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (perdasi). Komisi hukum berperan menggodok aturan-aturan lokal itu sebelum diusulkan ke pemerintah pusat untuk disahkan.
Dengan adanya badan khusus, Yan khawatir semua kewenangan itu akan diambil pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri. "Jadi Pasal 32 tidak ada artinya sama sekali, dia jadi pasal yang kosong, tidak punya denyut nadi untuk bisa bergerak seperti itu," katanya.
Menurut Yan, pemerintah pusat semestinya mengawasi saja pelaksanaan otonomi khusus, bukannya mengambil alih kewenangan pemerintah daerah. Dia mengaku pernah mengusulkan adanya semacam badan di bawah presiden yang bertugas memonitoring pelaksanaan otsus agar berjalan baik.
"Misalnya pembantu presiden yang tidak struktural, tapi semacam menjadi contact person antara presiden dan pemerintah di kedua provinsi di Tanah Papua," ujar Yan.
Dia mengimbuhkan, Pasal 67 UU Otsus Papua yang lama juga telah mengatur ihwal perlunya pengawasan demi pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab. Pengawasan itu malah dibuat tiga lapis, mulai dari pengawasan politik, hukum, dan sosial.
Menurut dia, pengawasan politik dilakukan oleh partai-partai politik, pengawasan hukum oleh lembaga penegak hukum, sedangkan pengawasan sosial oleh masyarakat dan kelompok sipil. "Ini yang selama ini tidak berjalan selama kurang lebih 20 tahun otsus berlaku," kata dia.
Ketua Panitia Khusus Rancangan UU Otsus Papua, Komarudin Watubun, mengatakan pembentukan badan khusus itu untuk mensinkronkan program-program berbagai kementerian/lembaga di Papua. Ia mengatakan, kesekretariatan badan itu akan berada di Papua sekaligus menjadi simbol kehadiran Istana di Bumi Cenderawasih.