TEMPO.CO, Jakarta - Kabar baik dari Ibu Kota tentang kemudahan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga bagi transgender sepertinya belum sampai ke Yogyakarta. Kemewahan memiliki dokumen kependudukan yang sudah dinikmati puluhan transpuan atau waria di wilayah Jabodetabek belum bisa dirasakan rekan-rekan mereka di daerah istimewa itu.
Para pegiat organisasi transpuan di Yogyakarta sudah mendatangi Pemerintah Kota Yogyakarta menanyakan kemudahan itu. “Tapi jawabannya menggantung. Kami tetap diminta mengikuti prosedur yang ada kalau mau punya KTP,” kata Rully Mallay, Koordinator Waria Crisis Center, Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, kepada Tempo, Jumat, 9 Juli 2021.
Baca juga:
Prosedur standar pengurusan KTP adalah memiliki kartu keluarga, akta kelahiran, pengantar dari RT/RW, dan surat pindah bagi pendatang. Masalahnya, mereka tak punya semua itu. Rully mencatat, di Yogyakarta, ada sekitar 280 orang transpuan. Sebanyak 184 orang menetap di Yogyakarta, dan sisanya pendatang. Mayoritas bekerja di jalanan sebagai pengamen atau pekerja seks. “Semua enggak ber-KTP, termasuk yang sudah lansia.” Sebab, rata-rata sudah lama meninggalkan tempat tinggal asal.
Nah, setitik cahaya menyeruak pada April lalu. Pemerintah membuat terobosan dengan mempermudah pengurusan dokumen kependudukan, seperti KTP, KK, dan akta kelahiran, bagi transpuan. “Setiap warga negara Indonesia berhak atas semua pelayanan publik dasar tanpa diskriminasi. Termasuk kaum transgender yang kerap dipandang sebagai warga marginal dan terpinggirkan,” kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, kala itu.
Zudan memastikan dinas kependudukan dan pencatatan sipil seluruh Indonesia akan membantu kaum transgender di daerah masing-masing. Bagi transgender yang pernah terdata dan punya KTP lama, kata Zudan, dinas dukcapil akan memverifikasi data itu. Jika cocok, dinas dukcapil akan mencetakkan KTP untuk mereka. Waria yang memerlukan surat pindah dan akta kelahiran bisa mengurus secara daring atau melalui WhatsApp dinas dukcapil setempat.
Santri Pesantren Waria Al Fatah Kotagede, Yogyakarta, berziarah di petilasan Sunan Bonang di Rembang, Jawa Tengah. TEMPO/Shinta Maharani
Namun, menurut Rully, “Kebijakan dari Kemendagri itu belum diterapkan di sini.” Bagi transpuan yang tak punya kartu keluarga dan domisili tetap, prosedur itu menyulitkan. Pertama, mereka harus meminta tanda tangan ketua RT/RW setempat. Lalu, mereka harus mengajukan diri agar nama mereka masuk ke dalam kartu keluarga induk semang tempat mereka tinggal.
Repotnya, kata Rully, agar bisa masuk KK induk semang, para transpuan harus mengajak pemilik kontrakan atau kosan dan satu orang lain ke kantor kelurahan untuk dijadikan saksi yang menyatakan mereka benar warga setempat. “Berdasarkan pengalaman teman-teman, sangat jarang ada induk semang yang mau diajak dan menjadi saksi. Ketua RT/RW saja bahkan enggan menandatangani berkas pengajuan KTP yang diajukan transpuan.”
Jauh sebelum pengumuman Kemendagri, Rully dan kawan-kawannya sudah giat mengadvokasi hak memiliki KTP bagi transpuan. Pada 2007, mereka memulai inisiatif itu di Kabupaten Sleman. Upaya tersebut baru berhasil pada 2014 karena didukung wakil bupati. “Hasilnya, sebanyak 15 transpuan di Sleman berhasil memiliki KTP dan KK kendati bukan warga asli,” kata Rully, yang juga pendiri komunitas waria Seruni di Sleman itu.
Pada masa pandemi, inisiatif membuatkan KTP untuk transpuan kembali dilakukan Rully dan kawan-kawannya. Hal itu dimaksudkan agar transpuan lansia bisa ikut program vaksinasi Covid-19 bagi lansia pada awal 2021. “Kami mengajukan langsung ke Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan.”
Rully juga sempat mencoba mengikuti prosedur yang berlaku untuk mengurus KTP dua teman transpuannya. “Saya ikuti prosedur sesuai hierarki dari tingkat RT hingga ke Balai Kota. Tapi lagi-lagi mentok di urusan keharusan ada saksi,” katanya. Ketiadaan KTP ini membuat para transpuan di Yogyakarta, yang tercekik akibat kehilangan penghasilan pada masa pandemi, tak mendapat aneka bantuan dan fasilitas dari pemerintah.
Pemimpin pesantren waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, Shinta Ratri menerima penghargaan dari Front Line Defenders, organisasi internasional untuk perlindungan pembela HAM berbasis di Irlandia. TEMPO/Shinta Maharani
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta, Septi Sri Rejeki, menjelaskan pihaknya terbuka untuk melayani pembuatan KTP bagi transpuan. Septi mengklaim sudah ada beberapa transpuan di Yogyakarta yang mendapatkan KTP. Dinas kependudukan pun sudah melakukan aneka sosialisasi kepada komunitas waria. "Bahkan kami siap jemput bola, misalnya teman-teman waria mau dikoordinasi untuk mendaftar bersama. Nanti kami bisa lakukan perekaman data buat mereka," ujar dia kepada Tempo, Sabtu, 10 Juli 2021.
Tapi, Septi menambahkan, hal itu baru bisa dilakukan bagi mereka yang sudah punya nomor induk kependudukan (NIK). Artinya, para waria harus pernah memiliki KTP sebelumnya. Nanti mereka mengisi data jenis kelamin dan nama sesuai dengan identitas lahir mereka. "Kalau sudah ada NIK, nanti mereka dimasukkan ke kartu keluarga pengampu mereka. Syaratnya, sang pengampu juga warga pemilik KTP dan KK Yogyakarta."
Hal itulah, kata Septi, yang menjadi persoalan ketika para transpuan dari komunitas Pesantren Al-Fatah ingin mendaftar dalam pembuatan KTP. "Waktu mereka daftar ramai-ramai kemarin, pengampunya bukan penduduk Yogyakarta," ujarnya. "Lha, kalau pengampunya orang luar Yogyakarta, ya, mendaftarnya di daerah domisili pemilik KK." Syarat untuk mendatangkan saksi untuk masuk kartu keluarga juga berlaku.
Septi menjamin, jika para transpuan sudah punya NIK, mereka bisa ikut mendaftar program pemerintah, seperti bantuan sosial atau vaksinasi Covid-19.
Nasib lebih mujur dirasakan para transpuan di Bogor, Jawa Barat. Sebagian dari seratusan transpuan di sana sudah punya KTP dan KK sejak Juni lalu. Mereka membuat dokumen itu di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Tangerang dalam acara yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri. “Waktu itu kami bareng dengan teman-teman transpuan dari wilayah lain di sekitar Jakarta,” kata inisiator komunitas transpuan Transvoice Bogor, Alexa Dominich, Kami, 8 Juli 2021.
Anggota kolektif Transvoice Bogor membagikan sembako dan bantuan pokok di masa pandemi kepada para transpuan di Bogor. Dok Transvoice Bogor
Menurut Alexa, prosesnya sangat mudah dan cepat. Mereka tinggal mendaftar, melakukan pengecekan data, dan perekaman biometrik. Tanpa menunggu lama, dokumen kependudukan itu pun jadi. “Bahkan sekarang sedang proses pendaftaran untuk pembuatan KTP gelombang kedua bagi teman-teman transpuan yang belum kebagian.”
Alexa bercerita, saat proses perekaman KTP sesi pertama, sebagian ada yang data biometriknya belum tercatat di sistem kependudukan, alias belum punya NIK. Nah, petugas yang melayani justru membantu mereka dengan mencatatkan data baru sesuai dengan domisili saat ini.
Kebijakan ini, kata Alexa, menjadi langkah progresif dan sangat membantu para transpuan. Setelah punya KTP, para pegiat di Transvoice langsung mengajak mereka mendaftar BPJS dan membuka rekening di bank. “Kami dampingi mereka karena sebagian merasa ragu dan takut mau ke bank atau melakukan pengurusan administrasi lain,” katanya. Sekarang, Transvoice sedang mengupayakan pendaftaran vaksinasi Covid-19 untuk sebagian waria di Bogor.
Pada masa pandemi ini, para pegiat di Transvoice rutin mengedukasi para transpuan untuk mau menabung. “Pandemi ini memberi pelajaran pentingnya punya simpanan uang,” ujarnya. Selain itu, Alexa bercerita, sebelum ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), mereka rutin mendatangi kantong-kantong tempat tinggal waria untuk berdiskusi mengenai kesehatan dan pentingnya vaksinasi Covid-19.
Alexa mengakui beberapa rekan transpuan ada yang termakan hoaks, sehingga mereka takut divaksin. “Ada juga yang enggan karena masalah keyakinan,” ujarnya. Untuk meyakinkan mereka, Alexa dan kawan-kawan mendatangkan para dokter dan ahli untuk memberi edukasi. “Tapi, karena sekarang ada PPKM, kegiatan itu kami setop dulu. Karena kalau mau bikin diskusi daring, teman-teman banyak yang kurang paham teknologi.”
Kepemilikan dokumen kependudukan itu diharapkan menjadi jalan untuk membuka akses mereka terhadap aneka program bantuan pada masa pandemi. Mayoritas transpuan di wilayah ini hidup di bawah garis kemiskinan. Selama ini, karena status kependudukan tak jelas, mereka tak diakomodasi oleh perangkat pemerintahan ketika ada pendataan untuk program bantuan. “Selama ini kami sama sekali tak menerima bantuan sosial dari pemerintah dalam bentuk apa pun, baik sembako maupun uang tunai.”
Hendrika Mayora Victoria merupakan transpuan asal Kabupaten Sikka yang menjadi transpuan pertama di Indonesia yang menjadi pejabat publik. Facebook/Hendrika Mayora Victoria
Kisah dipermudahnya pembuatan dokumen kependudukan untuk transpuan juga terdengar di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kemudahan bagi transpuan di sana malah sudah terjadi sebelum ada pengumuman dari Kementerian Dalam Negeri.
Komunitas transpuan Fajar Sikka yang didirikan Hendrika Mayora, pada tahun lalu sudah mendorong pemerintah daerah untuk memfasilitasi pembuatan dokumen kependudukan bagi transgender. “Kami mulai ketika awal pandemi terjadi,” kata Mayora saat dihubungi Tempo, Jumat, 9 Juli 2021.
Sembari melobi pemerintah daerah, Mayora, yang kini menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Habi, Kecamatan Kangae, Sikka, menemui para transpuan di kabupaten itu untuk mendorong mereka mendaftarkan diri agar punya dokumen kependudukan. Di sana, ada lebih dari seratus transpuan dewasa dan tua tapi tak punya KTP karena bingung bahkan takut mengurusnya.
“Saya katakan kepada teman-teman transpuan, kita adalah WNI yang punya hak untuk memiliki KTP dan dilayani pemerintah tanpa diskriminasi,” katanya. Bagaimanapun para waria juga punya kontribusi membayar pajak melalui aneka kegiatan dan usaha yang dijalankan. Selain itu, Mayora menyampaikan pentingnya kepemilikan KTP agar mereka dapat menerima bantuan sosial dari pemerintah.
Semula Mayora sempat menduga bakal dipersulit seperti pengalaman dia semasa tinggal di Jawa. Namun ternyata tidak. Upaya ini disambut baik. Pemerintah daerah mengakomodasi pencatatan data kependudukan dan penerbitan dokumennya. Sebagian transpuan pun tergerak mendaftarkan diri mereka secara mandiri. Mulanya mereka membuat KTP dengan cara dikoordinasi oleh Mayora dan kawan-kawannya. “Puji Tuhan, alhamdulillah, hari itu juga puluhan transpuan bisa mendapatkan KK dan KTP.”
Mayora terpilih menjadi anggota BPD di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT, pada Maret 2020 lalu. Ia unggul dari enam kandidat lain yang seluruhnya laki-laki. Facebook/Hendrika Mayora Victoria
Setelah mengawal perekaman data untuk rekan-rekannya, Mayora dan anggota lain Fajar Sikka mendatangi pejabat di sejumlah kecamatan dan desa. Kepada mereka, ia menyampaikan agar para transpuan yang baru memperoleh KTP didaftarkan sebagai penerima bantuan sosial. “Puji Tuhan, teman-teman transpuan di sini dapat dana bantuan sosial, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah desa.”
Mayora mengatakan, untuk menyelesaikan persoalan kependudukan kaum transgender, memang perlu upaya progresif, baik dari komunitas maupun pemerintah. Komunitas harus aktif mengadvokasi hak-hak waria. “Kaum waria juga tak perlu takut menunjukkan identitas mereka. Kalau sembunyi terus, ya, akan sulit mendapatkan akses atas hak-hak mereka,” ujarnya. Di sisi lain, ia menambahkan, pemerintah pun harus terbuka, tidak bersikap diskriminatif, dan menyadari bahwa waria adalah warga negara yang punya hak sama dengan warga lain.*
PRAGA UTAMA