TEMPO.CO, Jakarta - Presiden didesak mengutamakan perlindungan hak kesehatan anak dengan segera mengesahkan Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Desakan dilakukan oleh Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
bersama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) se-Indonesia pada Rabu, 7 Juli 2021.
Revisi PP 109/2012 ini akan melindungi anak-anak Indonesia. Sebab, dalam revisi yang tinggal disahkan itu, akan mengatur pelarangan total iklan promosi rokok, perluasan peringatan kesehatan bergambar pada kemasan dari 40 persen menjadi 90 persen, serta pengaturan rokok elektronik dan rokok dengan pemanasan.
“Tentunya kita tidak berharap anak-anak ini akan menjadi beban bonus demografi karena adiksi rokok yang mempengaruhi keluarga dan masa depannya,” kata Juru bicara Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok Anak, Azhar Zaini dalam siaran pers yang diterima Tempo, kemarin.
Ia menjelaskan, dalam Keppres No. 9 Tahun 2018, Presiden Jokowi telah menginstruksikan untuk melindungi anak dari zat adiktif rokok melalui revisi PP 109/2012. Selain itu, melalui Perpres No.18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, Presiden telah berkomitmen menargetkan prevalensi rokok turun menjadi 8,7% di tahun 2024.
Sayangnya, kata Azhar, proses penyelesaian revisi PP 109/2012 hingga saat ini terus tertunda dari yang seharusnya sudah dirampungkan dalam waktu setahun sejak 3 Mei 2018. Padahal saat ini ada 3,2 juta anak usia 10 -18 tahun menjadi perokok aktif karena lemahnya regulasi. Bappenas bahkan memprediksi jika tidak ada kebijakan yang kuat dan komitmen dari seluruh sektor terkait untuk melindungi anak, perokok anak akan meningkat menjadi 15,7 juta pada 2030.
Azhar, yang juga Ketua Yayasan Gagas Mataram, menyatakan pihaknya merasa miris karena mengetahui dari media massa banyaknya penolakan terhadap kebijakan melindungi anak dari Zat Adiktif Rokok. Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif dianggap mengganggu penanganan COVID-19, padahal sudah banyak penelitian membuktikan epidemi karena rokok justru menambah resiko penularan dan mempercepat kematian.
"Sejatinya revisi PP 109/2012 yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok akan sangat membantu penguatan pengendalian COVID-19," ujar Azhar. "Penyelamatan masa depan bangsa harus diletakkan pada prioritas tertinggi dibandingkan kepentingan lainnya," katanya menambahkan.
Di kesempatan terpisah, Ketua YLKI Tulus Abadi menjelaskan, ada sejumlah poin dalam PP 109/2012 yang sudah tidak mengakomodasi dinamika persoalan rokok saat ini. Ia menjabarkan ada empat masalah yang perlu segera mendapat perbaikan.
Tulus mengatakan, ada persoalan rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan telah menjadi fenomena baru di kelompok remaja dan anak muda. Industri rokok luar, kata dia, saat ini getol mengampanyekan rokok elektronik sebagai rokok yang lebih aman dari rokok konvensional. Kondisi ini amat mengerikan lantaran prevalensi rokok elektronik terus meningkat, yakni mencapai 10,1 persen.
"Persoalan rokok elektronik ini belum diatur di regulasi manapun, sehingga sangat memungkinkan untuk diatur dalam PP 109/2012," ucapnya.
Kedua, persoalan iklan rokok di ranah media digital amat marak meskipun kontennya tidak menampilkan rokok atau bungkusnya, atau orang merokok. Masalahnya, waktu tayangnya tidak ada pembatasan. "Sehingga anak dan remaja sebagai konsumen utama media digital akan sangat mudah untuk terpapar iklan rokok digital itu," ujarnya.
Yang ketiga, kata Tulus, PP 109/2012 hanya mengatur besar peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (PHW) sebesar 40 persen pada bungkus di bagian belakang dan bagian depan. Faktanya, PHW banyak tertutup oleh pita cukai, sehingga pesan bahaya rokok kepada konsumen tidak tercapai. Selain itu, besaran PHW di Indonesia terlalu kecil dibanding standar internasional, yang rata rata sudah mencapai 80-90 persen, bahkan sudah plain packagung dari bungkus rokok. u
Poin terakhir, menurut Tulus Abadi, PP 109/2012 memandatkan bahwa pemerintah daerah wajib membuat regulasi tentang KTR. "Faktanya, hingga sekarang baru 52 persen pemerintah daerah yang mempunyai regulasi tentang Kawasan Tanpa Rokok atau KTR. "Belum lagi soal kepatuhannya rendah, yang disebabkan konstruksi
hukumnya lemah, karena level peraturan baru sebatas peraturan bupati atau wali kota," ujarnya. "Persoalan KTR ini perlu diperkuat dalam PP 109/2012 agar dipatuhi semua kepala daerah."
Baca juga: Anak-anak Petani Tembakau Juga Berhak Hidup Sehat dari Asap dan Iklan Rokok