TEMPO.CO, Jakarta - Anggi Rizka Pustika mengira karier seorang guru PNS hanya mentok sebagai kepala sekolah, pengawas, atau kepala dinas. “Tapi jadi kepala sekolah atau pengawas pun, mohon maaf, masih harus senggol-senggol sana sini rasanya enggak mungkin. Karierku ya sudah jadi guru saja,” kata Anggi saat mengisi acara dalam Fellowship Jurnalisme Pendidikan, Rabu, 9 Juni 2021.
Tak disangka, wanita yang berprofesi sebagai guru kelas dua di SD Bogem 2 Klaten itu kini menemukan tempat lain di usianya menjelang 34 tahun. “Ternyata saya punya passion lain selain guru SD juga menjadi pelatih untuk guru lainnya,” kata dia.
Panggilan menjadi seorang pelatih itu ia dapatkan semenjak mengikuti program peningkatan kapabilitas guru melalui Wardah Inspiring Teacher pada 2019. Menurut dia, perjalanan belajar bersama Wardah adalah menantang diri sendiri.
Di pelatihan pertamanya, Anggi mendapatkan materi pengembangan diri, yang membuatnya semangat mengubah mindset bahwa guru perlu percaya diri karena peranannya yang penting dalam pendidikan. “Karena kalau kita dengar, guru mulai ‘Ah cuma guru saja’, ternyata peranan guru sedemikian penting,” kata dia.
Dalam program tersebut, Anggi juga diajarkan proses pembuatan media pembelajaran. Selama ini, wanita kelahiran Kebumen itu berpikir media pembelajaran dibuat tanpa perlu tahu kebutuhan murid. “Ternyata itu salah. Kita harus tahu bagaimana respons murid, kebutuhan murid, apa yang dia minati agar media belajar bisa diterima baik,” ujarnya.
Di pertemuan berikutnya, ia ditantang untuk membawa prototipe media pembelajaran dan diuji coba di hadapan teman-teman seprofesinya. Jika diterima oleh rekan guru, uji coba dilanjutkan ke murid di sekolah.
Saat berpikir pelatihan telah selesai, Anggi mendapat kejutan. Ia diminta ikut serta dalam acara pendidik nusantara. Tak hanya sekadar peserta, lulusan PGSD Universitas Sebelas Maret ini ditantang berbicara di depan guru-guru. “Jadi itu yang sampai sekarang terus berkembang. Jadi proses belajar yang menantang adalah menantang diri sendiri bisa sampai sekarang,” ucapnya.
Sejak ikut pelatihan tersebut, Anggi mengaku telah mengatasi berbagai kendala yang menghambat dirinya berkembang. Misalnya, mengikuti pelatihan guru karena surat tugas atau undangan dari dinas, bergantung pada narasumber ahli, dan kompetisi sesama guru. Pasalnya, program Wardah Inspiring Teacher yang diikutinya lebih banyak belajar bersama guru-guru sehingga jauh lebih aplikatif.
Konsep pelatihan serupa juga terdapat pada program peningkatan kapabilitas guru yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak tahun lalu sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. Menteri Nadiem Makarim menilai program tersebut merupakan ujung tombak transformasi pendidikan di Tanah Air.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan, Iwan Syahril mengatakan bahwa tujuan program ini adalah menciptakan sumber daya manusia unggul.
“Guru Penggerak itu adalah program kepemimpinan, calon-calon pemimpin kita. Kita ingin dari lulusan program ini nanti akan menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, instruktur pelatihan guru kita,” tutur Iwan dalam keterangan di laman Kemdikbud.
Ia menerangkan bahwa “coach” menjadi salah satu filosofi yang nantinya akan digunakan dalam pembelajaran sesama guru di program Guru Penggerak. Dengan filosofi ini, kata Iwan, guru akan mampu berbagai ilmu tanpa harus malu. Guru juga diharapkan dapat saling memotivasi satu sama lain.
Ketua Yayasan Guru Belajar Budi Setiawan Muhammad mengungkapkan ada tiga kondisi umum yang dialami para guru terkait upaya peningkatan mutu guru.
Budi mengatakan, guru ada kecenderungan jika mengikuti pelatihan karena penugasan dan ada insentif. Meski bukan sepenuhnya salah guru, Budi menilai hal itu terjadi karena guru sering merasa pelatihan tidak relevan dan tidak menyelesaikan persoalan di ruang kelasnya.
Miskonsepsi berikutnya adalah adanya ketergantungan terhadap para ahli. Dalam pelatihan guru, kata Budi, biasanya diisi oleh narasumber yang merupakan dosen ahli. Sehingga, ada keterbatasan sumber daya untuk menjadi narasumber. “Tidak ada yang salah, tapi jika dibandingkan dosen pendidikan dan guru timpang banget. Keterbatasan narsum untuk mengisi pelatihan guru sangat nyata apalagi di daerah-daerah. Susah,” kata dia.
Terakhir, Budi menilai adanya iklim kompetitif antarguru. Misalnya, hal baik yang dikuasai guru tersebut tidak dibagikan ke rekan sejawatnya, karena khawatir guru lain kariernya lebih cemerlang. Namun, Budi menegaskan, hal tersebut bukan sepenuhnya salah guru.
Dari ketiga kondisi tersebut, yayasan yang dipimpin Budi kemudian bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, perusahaan kosmetik yang menaungi Wardah, untuk meningkatkan kualitas guru melalui program Wardah Inspiring Teacher (WIT).
Dalam program tersebut, guru menjadi peserta karena dimotivasi muridnya. Ia menjelaskan, guru harus mendapat rekomendasi dari murid yang terinspirasi oleh guru tersebut. “Siapa yang tidak tersanjung kalau dianggap terinspirasi muridnya. Sehingga membangun motivasi agar mua (ikut pelatihan), tidak ribet soal surat tugas dan sertifikat,” ujarnya.
Program WIT, kata Budi, juga menghilangkan ketergantungan pada narsum ahli karena komposisinya yang beragam. Narsumber ahli bisa dibatasi karena ada guru yang bisa menjadi pelatih untuk rekannya.
Terakhir, Budi mengungkapkan bahwa WIT membangun sebuah semangat dan karya, bukan untuk mengalahkan peserta yang lain. Para guru yang menjadi peserta pelatihan harus berorientasi pada murid. “Jadi semangatnya untuk membantu murid. Karena orientasi ke murid, teman-teman guru juga mau membantu guru yang lain. Karena spiritnya bukan individualis ya,” katanya.
Baca juga: KPAI Setuju Keputusan Jokowi Buka Sekolah Hanya 2 Kali Sepekan, Asal...