Co-Founder Kawal Covid-19, Elina Ciptadi, mengingatkan agar orang tua mengetahui risiko jika setuju anaknya kembali ke sekolah. Ia mengatakan, aman atau tidaknya anak belajar di sekolah tergantung dari pengendalian pandemi di daerah.
Di Surabaya, misalnya, positivity rate Covid-19 sudah di bawah 1 persen. Standar positivity rate yang ditetapkan WHO adalah 5 persen. “Sehingga kalau ditanya Surabaya aman bukan sekolah, bagi kami aman karena kondisi pandemi terkendali,” kata Elina dalam diskusi FSGi, Selasa, 8 Juni 2021.
Sayangnya, kata Elina, tidak semua daerah bisa mengetahui positivity rate di atas atau di bawah 5 persen. Yang terlihat hanya lah zona risiko yang ada di situs Covid19.go.id. Elina khawatir, pewarnaan pada peta risiko hanya memberikan rasa aman semu. Pasalnya, beberapa kota yang rumah sakitnya penuh dengan pasien Covid-19, dinyatakan berada di zona kuning atau risiko rendah.
“Kami menganjurkan untuk mendorong pemerintah daerah membuka data tes dan positivity rate per kabupaten/kota. Karena hanya dari situ kita bisa melihat apakah situasi pandemi terkendali atau tidak,” ujarnya.
Jika positivity rate di daerah tidak diketahui, Elina menyarankan agar merujuk pada data tingkat kematian akibat Covid-19. Angka kematian 3 persen saja, menurut dia, sudah sangat tinggi. Merujuk pada data global, tingkat kematian Covid-19 pada anak di negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia, Perancis, dan Korea Selatan, yaitu 0,0 persen.
Adapun dari data Satgas Covid-19, tingkat kematian pada anak di Indonesia 1 persen. Meski terlihat tidak banyak, Elina mengatakan dibandingkan data di luar negeri yang 0,0 persen, artinya anak Indonesia puluhan kali lebih mungkin meninggal karena Covid-19.
Infografik 2
Direktur SMP Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek, Mulyatsyah, mengatakan kementerian berprinsip mengutamakan kesehatan dan keselamatan anak-anak.
Ia memastikan kebijakan membuka sekolah pada tahun ajaran baru nanti sudah melalui kajian. “Aspek pertama adalah keselamatan dan kesehatan, keamanan juga menjadi rujukan kami,” kata Mulyatsyah dalam diskusi FSGI pada Senin, 7 Juni 2021.
Dari hasil kajian yang dilakukan kementerian seiring dengan perkembangan pandemi, Mulyatsyah menuturkan pembelajaran jarak jauh berdampak pada peningkatan angka anak putus sekolah karena harus membantu orang tuanya.
Kemudian ada persepsi dari masyarakat bahwa belajar itu di sekolah. Juga terjadi penurunan capaian pembelajaran dan kesenjangan capaian. Sehingga, untuk memperkecil risiko dan mencegah lost learning berkepanjang, kementerian mengizinkan sekolah menerapkan pembelajaran tatap muka terbatas. “Ketika kesempatan belajar hilang, maka generasi kita yang akan datang juga akan hilang, padahal mereka harapan kita semua,” ujar Mulyatsyah soal pembelajaran tatap muka.
Baca juga: Nadiem Garisbawahi Jokowi Soal Pembelajaran Tatap Muka Terbatas