“Sekarang saatnya umat Islam kembali mempelajari hal-hal yang mendasar dari Al Quran. Bukan berdebat soal tafsir,” kata Yunahar usai pengukuhan.
Dalam pidato pengukuhan, Yunahar banyak membahas bagaimana dalam tafsir Al Quran memiliki bentuk, metode dan corak penafsiran yang berbeda. Segi corak ada yang berdasar sastra, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Ia mengaku dirinya sangat senang bisa menjadi pionir dari internal UMY yang meraih jabatan guru besar setelah masa pengabdian 21 tahun sejak bergabung menjadi dosen tahun 1987 lalu.
“Saya tidak mengundang polemik soal Al Quran. Hanya me-review ulang, sekarang ini banyak yang berdebat soal penafsiran. Mereka lupa saatnya umat Islam kembali mempelajari ke hal-hal yang mendasar, bukan berdebat masalah tafsir,” kata Yunahar yang juga menjadi ketua Majlis Ulama Indonesia tersebut.
Menurut dia, profesor dalam bahasa Arab adalah ustadz. Jika merujuk pada bahasa Arab dia sudah sejak lama jadi profesor. Sebagai guru pesantren dan mubaligh itulah panggilan ustadz akrab baginya.
Yunahar kelahiran Bukittinggi, 22 September 1956 menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Al Quran Al Karim; Sejarah Pengumpulan dan Metodologi Penafsiran”.
Menurut Humas UMY, Ahmad Makruf, kajian Yunahar sangat menarik bagi umat Islam, pasalnya saat ini pemahaman Al Quran sudah melupakan dasar dari ajaran Al quran itu sendiri. Bahkan dalam pendidikan lebih mengarah ke penafsirannya. Orang Islam hanya bisa memahami Al Quran sepotong-sepotong.
“Bahkan penghitungan ayat-ayat di dalam Al quran banyak yang mendebatkan, ada yang menghitung sebanyak 6666, tetapi ulama menghitung tidak lebih dari 6300 ayat di dalam Al quran.
Muh Syaifullah