TEMPO.CO, Jakarta - Southeast Asia Freedom of Expression Network atau Safenet mengkritik Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Safenet menilai beleid tersebut memuat banyak pasal multitafsir yang rawan menjadi pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi masyarakat.
“Jika permen ini sudah diimplementasikan secara penuh, ada potensi pembatasan akses informasi dan pelanggaran hak untuk berekspresi dan berpendapat,” kata peneliti Safenet Nenden Sekar Arum saat dihubungi, Senin, 24 Mei 2021.
Nenden mengatakan menemukan 65 kata yang berhubungan dengan pemutusan akses oleh pemerintah dalam aturan yang diteken Menkominfo Johnny G Plate pada November 2020 itu. Dia mengatakan padahal akses kepada informasi dan internet adalah hak warga.
Dia lebih khawatir bila kebijakan itu tidak dilakukan secara proporsional. Masalahnya, kata dia, dalam konteks pemutusan akses itu tidak diatur secara detail. Aturan, kata dia, hanya menjelaskan bahwa informasi, dokumen atau konten yang dilarang. Penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dari konten yang dilarang adalah yang dianggap bertentangan dengan perundang-undangan, dan dianggap meresahkan masyarakat.
Dia mengatakan tak ada penjelasan lebih jauh mengenai maksud dari meresahkan masyarakat. Bila pemaknaan informasi meresahkan itu dimonopoli oleh pemerintah, maka bisa jadi aturan itu akan menyasar pada para pengkritik pemerintah. “Itu bisa jadi pasal karet yang berpotensi untuk penyalahgunaan kekuasaan dan disalahgunakan untuk membungkam kelompok yang mengkritik pemerintah,” ujar dia.
Nenden mengatakan pembatasan juga mungkin akan menyasar ke media massa. Sebab, media massa berbasis elektronik masuk dalam kategori PSE lingkup privat. Dia mengatakan peraturan menteri ini bisa jadi akan melampaui UU Pers. Dia mencontohkan, skenario terburuk dari penerapan aturan bisa saja pemerintah menganggap sebuah berita meresahkan masyarakat dan memintanya untuk diturunkan. Padahal, menurut UU Pers, masalah pada produk jurnalistik harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers. “Regulasi ini bisa melampaui UU Pers,” kata dia.
“Pemerintah bisa dengan mudah meminta sebuah berita diturunkan, kalau tidak platform itu bisa mendapatkan sanksi atau diputus,” kata dia.