TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan dissenting opinion dalam putusan uji formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diajukan Agus Rahardjo dkk. Wahiduddin menyampaikan dissenting opinion ini merupakan ijtihad menempuh koridor jalan tengah terbaik yang dia yakini.
"Saya berijtihad untuk menempuh koridor 'jalan tengah terbaik' yang saya yakini yaitu menyatakan bahwa pembentukan Undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga Undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Wahiduddin membacakan pandangannya dalam sidang putusan, Selasa, 4 Mei 2021.
Wahiduddin sebelumnya menjelaskan, ia mempertimbangkan aspek formil dan materiil dari UU KPK secara simultan dan berkelindan. Menurut dia, ada tiga alternatif koridor yang dapat ditempuh oleh hakim MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara UU KPK.
Opsi pertama ialah mempertahankan UU KPK hasil revisi dengan menolak seluruh permohonan para pemohon. Kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa atau banyak materi dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dengan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon, khususnya pemohon uji materiil, agar UU KPK terjamin konstitusionalitasnya.
Ketiga, kembali ke UU Nomor 30 Tahun 2002 atau UU KPK sebelum revisi dengan menyatakan bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Opsi ketiga inilah yang dipilih oleh Wahiduddin sehingga ia menyampaikan dissenting opinion.
Wahiduddin menyatakan ijtihad ini ia lakukan berdasarkan beberapa argumen. Di antaranya, dia berharap pembentuk undang-undang dapat mengulang proses pembentukan UU mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional.
Kedua, Wahiduddin mengatakan opsi koridor pertama tak mungkin dia lakukan. "Karena begitu terang benderangnya pelanggaran konstitusi yang terjadi dalam Undang-undang a quo baik dalam aspek formil maupun beberapa aspek materiil," kata Wahiduddin.
Adapun opsi koridor kedua dinilainya hanya akan menyebabkan pengaturan mengenai KPK dan pemberantasan korupsi semakin compang-camping. Di sisi lain, MK dapat berpotensi dinilai tergelincir berubah fungsi melakukan legislatory on governing from the bench atau dicatat sejarah telah menjadi the judge as occasional legislator dalam bentuk yang paling ekstrem.
Dengan memilih koridor ketiga, kata Wahiduddin, diharapkan dapat menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo. Ia mengatakan, jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK juga menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.
Yang terpenting, kata Wahiduddin, ialah bukti agar para pencari keadilan dan masyarakat percaya bahwa mekanisme pengujian formil di MK betul-betul ada dan bukan sekadar indah dalam cerita. Ia mengatakan hal ini juga bisa menjadi instrumen penyeimbang bagi agresifnya kekuatan politik mayoritas di DPR dalam pembuatan UU. "Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon," kata hakim Mahkamah Konstitusi itu.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca: Sidang UU KPK, MK: Penyadapan, Penggeledahan dan Penyitaan Tak Perlu Izin Dewas