Salah seorang korban, Mayjen TNI Tonny Rompis, baru menjabat sebagai Panglima Kodam Trikora tanggal 13 November 2000 lalu. Ia menggantikan Mayjen TNI Albert Inkiriwang. Sebelumnya, Tonny Rompis pernah menjabat sebagai Komandan Korem 161/Wirasakti.
Selama menjadi Pangdam, Tonny Rompis telah menerima tugas berat berkaitan dengan keinginan sebagian masyarakat Irian Jaya yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menetralisasi aspirasi sebagian rakyatnya itu, sebagai pimpinan Kodam, Tonny menawarkan diri untuk menjadi mediator.
Seorang korban lain yang juga baru beberapa saat menjabat adalah Inspektur Jenderal FX Sumardi. Lulusan Lemhanas 1997 ini, baru sebulan menduduki kursi Kapolda Irian Jaya. Ia meninggalkan seorang istri, dua putra dan satu putri. Lelaki kelahiran Yogyakarta 25 Juni 1948 ini pernah menjadi Gubernur Akpol di Semarang. Pada tahun 1997, Sumardi menjabat Kapolwil Surakarta, setelah sebelumnya, pada tahun 1996 bertugas Polda Metro Jaya sebagai Kadit Samapta.
Pejabat ke tiga yang menjadi korban adalah Bismar Mannu. Jaksa senior kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 12 Oktober 1942 ini pernah bertugas di Kejaksaan Agung sebagai Direktur Tindak Pidana Khusus. Saat itu, Bismar menggantikan Ramelan yang dipercaya menjadi JAM Pidana Umum. Sebelumnya, Bismar adalah Wakil Kajati Sumatera Utara. Saat menjadi Direktur Tindak Pidana Khusus, ia menangani beberapa kasus yang menarik perhatian masyarakat, seperti kasus Bank Bali.
Sebagai jaksa, Bismar pernah berhubungan dengan beberapa kasus tenar. Ia pernah bertugas sebagai jaksa dalam kasus dugaan penyelewengan kredit Bank Pembangunan Daerah Sumut (BPDSU) sebesar Rp 236 milyar. Bismar pula yang memeriksa putra pertama mantan Presiden Soeharto, Sigit Hardjojudanto, selaku Komisaris Utama PT Viktor Jaya Raya (VJR) Medan pada 12 Oktober 1998.
Bismar pernah mendapat musibah yang diduga berkaitan dengan tugasnya sebagai penegak hokum. Musibah itu adalah tindakan seorang oknum yang menembak putranya saat ia menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Korupsi Pidsus Kejakgung. Tembakan yang tertuju pada puteranya tidak tepat, sehingga tidak menyebabkan hal yang fatal.
Korban lainnya, Nathaniel Kaiway, sebelum menjabat sebagai Ketua DPRD I Irian Jaya pernah menjadi kandidat gubernur Irian Jaya periode 2000-2005. Berpasangan dengan Daniel Daat, Nathaniel gagal meraih posisi gubernur karena kalah dalam perolehan suara. Nathaniel hanya mendapatkan 10 suara dari 45 suara yang diperebutkan, sementara saingannya, Jacobus Pervidia Sollosa yang berpasangan dengan Konstant Karma, akhirnya terpilih menjadi Gubernur Irian Jaya hingga saat ini dengan perolehan 29 suara.
Sebagai Ketua DPRD Nathaniel pun mengemban tugas yang berat. Irian Jaya yang sedang mengalami masalah disintegrasi, hingga saat ini masih membutuhkan perhatian dari pemerintah pusat. Bersama sejumlah anggota dewan, ia sering beraudiensi dengan pimpinan DPR di Jakarta. Kunjungan tanggal 16 Desember yang baru lalu ini bertujuan menyampaikan aspirasi masyarakat Irian yang ingin berpisah dari NKRI.
Menurut Nathaniel, aspirasi masyarakat Irian sangat berat dan tidak bisa lagi dibebankan pada DPRD Irian. Persoalan yang sudah berskala nasional itu, menurutnya, tidak bisa diselesaikan pemerintah daerah.
Sebagai pimpinan legislatif, Nathaniel Kaiway pernah membuat sejarah. Untuk pertama kalinya Fraksi Karya Pembangunan DPRD Irian Jaya memboikot Sidang Paripurna Istimewa Dewan yang bertujuan melantik Ketua DPRD periode 1997-2002, pada 30 Juli 1997. Buntutnya, Kolonel (Inf) Robert Sitorus yang terpilih sebagai ketua melalui voting pada pekan sebelumnya batal dilantik. Demikian juga Abraham Kuruwaib dan Nathaniel Kaiway yang terpilih sebagai wakilnya. Padahal ketiga pimpinan DPRD Irja itu sudah disetujui Mendagri. (Uly Siregar)