TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunus Miko Wahyono, menilai pengembangan vaksin Nusantara ataupun penelitian sel dendritik berbasis pelayanan pasien tidak bisa disebut vaksin. Sebab, obat yang diproduksi itu mengambil sel darah muda, lalu dikenalkan dengan antigen virus. Setelah itu, disuntikkan kembali ke dalam tubuh.
"Kalaupun berhasil membentuk antibodi, itu pun tidak bisa disebut vaksin, apa namanya saya tidak tahu," ujar Yunus.
Pemerintah sebelumnya menyepakati status penelitian sel dendritik SARS-CoV-2 hanya berbasis pelayanan kepada pasien, riset tidak dapat dikomersialkan dan tidak membutuhkan persetujuan izin edar. Kementerian Kesehatan membina dan mengawasi riset sel dendritik tersebut. Kesepakatan itu tertuang dalam MoU antara BPOM, Kementerian Kesehatan, dan TNI Angkatan Darat, dua hari lalu.
Sejumlah ahli menilai kebijakan pemerintah itu melucuti kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengawasi riset sel dendritik SARS-CoV-2.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan riset itu harus diawasi BPOM sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap peredaran bahan obat dan makanan di wilayah Indonesia, baik untuk kepentingan komersial maupun tidak. Kewenangan BPOM sangat jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM.
"Peran BPOM itu tidak bisa lepas karena mereka bertanggung jawab terhadap peredaran bahan obat dan makanan di wilayah Indonesia," kata Dicky, kemarin.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, sependapat dengan Dicky. Pandu mengatakan setiap penelitian yang menyangkut kesehatan manusia wajib memperjelas pihak sponsor, mengikuti protokol pembuatan obat, serta menentukan penanggung jawab riset.
"Harusnya tetap BPOM yang mengawasi, tapi seolah diakal-akali jadi penelitian berbasis pelayanan pasien," kata Pandu.
DEWI NURITA | KORAN TEMPO